Wednesday, October 8, 2008

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (6)

BAGAIMANA DENGAN KITA?

Gereja sebagai umat Allah yang sejati, murid Kristus, dan ciptaan baru, secara ontologis sudah merupakan politik. Jika Kristus menyebut kita sebagai antisipator, atau prolepsis, dari Kerajaan Allah, maka sebenarnya kehadiran Gereja menggentarkan kuasa politik! Namun, bagaimana kenyataannya? 

Kita berpolitik, tetapi kebanyakan memperjuangkan kepentingan sendiri. Gereja telah menjadi sangat reaktif bila kepentingannya terganggu. Gereja berkumpul dan menyatakan protes kepada pemerintah ketika ada gereja yang dibakar. Gereja diam saja ketika ketidakadilan menimpa orang lain yang bukan Kristen!  

Masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang dilakukan oleh sebuah organisasi persekutuan gereja di Indonesia, ketika Mbak Tutut, sang putri penguasa Orde Baru, yang mengampu Menteri Sosial, mengumumkan agar rakyat menyumbangkan emas di tengah krisis moneter Indonesia, maka Ketumnya yang njawani itu pun tergopoh-gopoh sowan kepada Mbak Tutut; bahkan melakukan imbauan di stasiun televisi.

Tak kurang memalukan pula kiprah gereja, ketika belum lama berselang, seorang pemimpin gereja di ibu kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kristen Fundamental(is), meraih dua doktor di bidang pendidikan agama dan teologi dari Amerika Serikat, mendukung pencalonan seorang calon presiden wanita, yang pernah menjabat sebagai presiden, dengan tujuan supaya sang ibu memberikan keadilan kepada orang Kristen dan terutama golongan non-pribumi.

Banyak orang-orang muda Kristen, dan khususnya dari warga keturunan, yang mempunyai cita-cita tinggi, brilian, dan mempunyai cukup dana untuk menempuh studi di luar negeri kemudian enggan balik ke Indonesia. Mengapa? Tidak ada tempat, kurang fasilitas, tidak impas dengan tenaga, usaha dan dana yang dikeluarkan. Betapa kita perlu bercermin dengan arif dan merenung dengan malu, orang yang sangat terbukti cinta negeri yang porak poranda adalah Kwik Kian Gie, yang adalah seorang Buddhis.

Perjuangan Kekristenan—termasuk yang Injili, dan kata “injili” di Indonesia kian menyempit menjadi kelompok gereja Kristen dari latar belakang warga keturunan!—masih sangat parsial, fragmentaris, dan primordialis! Saya yakin hal ini bukan mempermuliakan Kristus yang tersalib dan yang bangkit sebagai buah sulung ciptaan baru, tetapi mempermalukan-Nya. Orang Kristen masih dicetak oleh pola dan patron dunia.

Mungkin inilah sebabnya, orang Kristen cenderung anti untuk menghayati Kristus sebagai seorang tokoh yang berpolitik, dan lebih nyaman untuk mengatakan bahwa Ia hanya memperjuangkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi kaum-Nya, sebab sesungguhnya orang Kristen enggan untuk menanggung konsekuensi sebagai orang-orang yang mengikut Dia. Jika Kristus adalah tokoh politik, mau tidak mau, gereja harus berpolitik, sebab gereja sebagai pengikut-Nya adalah sebuah entitas politis: politik shalom, politik Kerajaan Allah, politik konfrontatif dengan kebijakan pemerintah, politik NO! kepada kuasa dunia. Pertanyaan untuk gereja adalah: Siapa yang kita ikuti, dan siapa yang lebih kita takuti? Hanya ada dua pilihan: Kristus atau Kaisar!

TERPUJILAH ALLAH! 


Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (5)

KEBENARAN DI HADAPAN PENGUASA POLITIK

Sampailah kita ke pertanyaan, apakah Yesus berpolitik? Ya, dalam keseluruhan hidup-Nya, Ia berpolitik. Ajaran-Nya pun merupakan politik. Ia mengajarkan Kerajaan Allah hadir. Ia mengejawantahkan Kerajaan Allah. Ia mewartakan shalom. Ia sendiri adalah shalom itu. Ia tengah berkontradiksi dengan para penguasa, tutur kata dan tindakan simbolis-Nya membuat para penguasa kalang kabut. Bayangkan reaksi para penguasa ketika mendengar berita yang dikatakan oleh Yesus dari Nazaret ini!

Politik apakah yang Tuhan Yesus jalankan? Politik yang bertolak belakang dengan Kaisar, sebagai kuasa absolutis. Ingatkah Anda, mengapa Pilatus bertanya, “Apa itu kebenaran?” Sebab baginya, Kaisar adalah kebenaran yang absolut. Worldview Pilatus sebagai warga Roma adalah bahwa hanya Kaisarlah yang boleh mengatakan kebenaran.  

Ingatkah Anda ketika Yesus berkata kepada khalayak pendengar, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”? Hal ini bukan secara simplistis berarti boleh-boleh saja membayar pajak sebagai rasa hormat kepada pemerintah. Pada zaman Yesus, pemberontakan melawan pajak bukan hal yang aneh dan unik. Sejak Yesus masih kanak-kanak, Ia pasti telah mengetahui begitu banyaknya pemberontakan, dan di kemudian hari para pelakunya dibabat habis oleh kebrutalan orang-orang Roma! Tetapi hal yang paling mendasar bagi orang-orang pada zaman itu adalah, bila orang berkata, “Ya, bayarlah pajak kepada Roma!” maka di balik perkataan itu tersirat pemikiran, “Aku tidak serius menanggapi kedatangan Kerajaan Allah!”

Tidakkah Anda mencermati, Yesus meminta orang yang mencobai-Nya mengeluarkan koin mata uang yang dipakai untuk membayar pajak? Kabarnya mereka membenci kaisar, tetapi toh kenyataannya mereka menyimpan gambar kaisar yang tertera di dalam koin tersebut, dengan inskripsi (tulisan) yang memuat gelar pemujaan yang memberhalakan kaisar. Maka apa yang hendak dikatakan oleh Yesus adalah, “Lebih baik engkau kembalikan koinnya kaisar kepada kaisar, dan persembahkanlah kepada Allah kembali koinnya Allah!” Jadi Yesus hendak mengatakan, pajak harus dibayarkan, tetapi dengan kebencian kepada kuasa kaisar dan bukan dengan rasa hormat kepadanya; dan di balik itu ada keyakinan bahwa rezim Kaisar merupakan pemberhalaan omong kosong di hadapan Allah, dan pada suatu hari kelak, Allah sendiri akan menjungkirbalikkanya.

Politik Yesus adalah politik tanpa kompromi. Perkataan Yesus harus kita sadari implikasinya, bahwa Allah itu berkuasa atas segenap segi kehidupan, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan ambiguitas kehidupan, salah satunya membayar pajak kepada kaisar. Ya benar, Yesus berkata bahwa orang harus membayar pajak kepada orang-orang kafir, seperti halnya orang Yahudi yang berdoa kepada Allah untuk kesejahteraan kota di mana mereka dibuang oleh Allah; tetapi melampaui ambiguitas kehidupan itu, hendaklah setiap orang meyakini bahwa Allah hadir di dalamnya, memanggil umat-Nya untuk berdiri dan patuh kepada sesuatu yang jauh melampaui kuasa kafir yang absolut, yang sedang berjaya. Umat Allah yang sejati beroposisi secara diametris dari kuasa itu.

Mungkin Anda akan segera bertanya dalam hati, bagaimana dengan Roma 13:1, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya . . . .” Apalagi diterangkan lebih lanjut, bahwa siapa yang melawan pemerintah melawan ketetapan Allah. Apakah rasul mengajarkan kita untuk selalu sendika dhawuh kepada pemerintah? Marilah kita selidiki ayat ini dengan cermat. Kata yang dipakai untuk “takluk” adalah hupotassesthai. Kata ini berbeda arti dengan “menaati” atau “patuh” (biasanya dipakai kata peitharchein, peithesthai dan hupakouein. Dalam PB, kata hupotassesthai muncul 31 kali. Sesekali, kata ini menunjuk kepada kepatuhan (Rm. 8.7), tetapi dalam kasus umum, arti ini tidak popular.

Maka, apa artinya ketika kata ini dipakai di sini, dan orang Kristen harus takluk kepada pemerintah? Yaitu bahwa seseorang ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintah itu oleh Allah. Maka, bukan berarti seseorang tidak boleh kritis, lalu berlaku taat membabi buta kepada setiap keputusan, kebijakan dan politik pemerintah. Mengapa demikian? Sebab bagi orang Kristen, yang menentukan hupotassesthai dalam segala situasi bukanlah pemerintah dan kuasa sipil, tetapi Kristus.

Pertanyaannya ialah, mengapa orang Kristen mengambil posisi seperti ini? Worldview yang harus diingat oleh orang Kristen adalah bahwa kita telah mati dan bangkit bersama dengan Kristus, hidup oleh kuasa Roh, dan pengharapan kita adalah masa depan yang diperintah oleh Allah (Rm. 6-8). Oleh sebab itu, tidak ada satu kuasa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristyus, termasuk pemerintah dan kuasa-kuasa (Rm. 8.38-39). Setiap orang Kristen dibentuk oleh masa depan, bukan oleh masa lalu!

Keberadaan pemerintah, selalim apa pun, merupakan cerminan dari kehendak Allah untuk mengadakan keadilan dan tatanan, hingga tatanan yang baru yang dipimpin oleh Kristus Yesus merekah dengan sempurna. Betapa pun jahat dan lalimnya sebuah pemerintahan, dan mereka tidak mengenal Allah dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan menurut ukuran sendiri, namun tanpa pemerintah, orang akan bertindak sesuka hati, seenak hasratnya sendiri, dan orang yang lemah dan tak berdaya akan bertambah sengsara. Allah tidak menghendaki hal ini.  

Namun para rasul sendiri menyadari bahwa bila pemerintah melawan Allah, maka mereka berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5.29). Prinsip ini mengajar kita, sekalipun orang Kristen menolak untuk patuh, mereka tetap takluk di bawah kuasa pemerintah. Mereka tidak melakukan pemberontakan. Mereka tidak mengangkat senjata untuk menjungkirbalikkan kuasa pemerintahan. Tetapi bilamana pemerintah memutuskan hal-hal yang bertolak belakang dengan kehendak Allah, mereka pasti menolak, dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut.

Jadi, Roma 13 bukan merupakan carte blanche yang membenarkan para penguasa untuk melakukan apa pun yang mereka sukai. Mereka bukan ditempatkan di atas angin. Keberadaan mereka berada di bawah kuasa Kristus, sebab “Injil” Kristus Yesus melampaui “injil” para kaisar; dan setiap pemerintah bertanggung jawab kepada Sang Penguasa yang berada di atasnya. Bacalah teks ini baik-baik sekali lagi, dan seluruh Roma, maka Anda akan tahu bagaimana kita harus bertindak dalam percaturan politik!

Demikian pun bila kita perhatikan 1 Petrus 2.13, “Tundukklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi.” Di 2.17 ada empat perintah: hormati semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah dan hormatilah raja! Dapatkah kita simpulkan bahwa kita harus selalu menghormati raja karena raja selalu benar? Camkan selalu perkataan rasul di 2.9, bahwa orang Kristen adalah kerajaan para imam, artinya imam-imam yang melayani Sang Raja. Mereka patuh kepada Sang Raja, bukan kepada yang lain. Namun konteks selanjutnya (1.18-25) bagaimana orang Kristen harus bertindak bukan pada masa yang nyaman, aman tenteram, damai dan adil, tetapi pada waktu ketidakadilan itu muncul dan merajalela. Kepatuhan itu dinampakkan oleh orang Kristen, hanya kepada Kristus sehingga mereka pun rela menderita, bukan kepada pemerintah. Say No! to caesar, and Yes! to Christ.