Sunday, April 29, 2007

Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus


Kompas, Kamis 5 April 2007 : Bentara hal. 43

Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus

IOANES RAKHMAT

Temuan makam keluarga Yesus di Talpiot menuntut sebuah kacamata baru memahami teks injil sehubungan dengan fakta historis tentang Yesus.

Makam keluarga Yesus di Talpiot, sebelah selatan Kota Lama Jerusalem, digali dalam kurun 1-11 April 1980 oleh arkeolog Amos Kloner, Yosef Gath, Eliot Braun, dan Shimon Gibson di bawah pengawasan Otoritas Kepurbakalaan Israel (OKI) . Di dalamnya ditemukan 10 osuarium (peti tulang terbuat dari batu gamping) berusia tua dari kurun waktu pra-tahun 70 Masehi, akhir Perang Yahudi I melawan Roma. Sejak penggalian itu tidak ada penyelidikan lebih lanjut atas makam ini. Di dalam sebuah film dokumenter BBC/CTVC yang berjudul The Body in Question dan ditayangkan di Inggris pada Minggu Paskah 1996, muncul laporan sangat singkat tentang makam ini. Karena terlalu singkat, laporan ini berlalu begitu saja.

James D Tabor melalui bukunya yang terbit 2006, The Jesus Dynasty, mengangkat kembali signifikansi makam Talpiot bagi studi tentang Yesus. Discovery Channel pada 4 Maret 2007 di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Israel, dan Eropa menayangkan sebuah film dokumenter berjudul The Lost Tomb of Jesus dengan produser pelaksana James Cameron. Tesis yang diajukan film ini: makam Talpiot adalah betul makam keluarga Yesus dari Nazareth. Dalam waktu yang hampir bersamaan (Februari 2007) Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino menerbitkan buku The Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence That Could Change History. Tak pelak lagi kontroversi sedunia atas temuan makam Talpiot pun bermunculan. Reaksi sangat keras datang terutama dari kalangan Kristen konservatif evangelis. Sebaliknya, sejumlah pakar lain, seperti John Dominic Crossan dan James Charlesworth, mendukung penuh usaha-usaha penelitian terhadap makam Talpiot. Crossan menandaskan temuan makam Talpiot itu adalah "paku terakhir yang ditancapkan pada peti mati literalisme biblis".

Perkembangan sekarang

Pada penggalian 1980 ditemukan 10 osuarium dari makam Talpiot. Namun, sekarang ini, OKI hanya memiliki sembilan osuarium dari makam Talpiot, satu osuarium dinyatakan telah hilang. Dari sembilan osuarium ini, tiga osuarium di antaranya tidak memiliki inskripsi, sedangkan enam lainnya memuat inskripsi: (1) "Yesus anak Yusuf" (bahasa Aram), (2) "Maria" (Aram), (3) "Mariamene e Mara" ("Maria sang Master"=Maria Magdalena) (Yunani), (4) "Yoses" (Aram), (5) "Matius" (Aram), (6) "Yudas anak Yesus" (Aram). Keempat nama yang pertama sudah dikenal sebagai nama-nama yang muncul dalam Alkitab Perjanjian Baru, baik sebagai anggota-anggota keluarga Yesus (Markus 6:3) maupun sebagai seorang yang dekat dengannya (Maria Magdalena). Nama "Matius" muncul dalam "silsilah Yesus" (Matius 1 dan Lukas 3) dan juga dalam Markus 2:14 sebagai "anak dari Alfeus (Klofas)". Alfeus atau Klofas, menurut James Tabor, adalah saudara dari Yusuf, ayah legal Yesus. Jadi, "Matius" termasuk ke dalam kaum keluarga Yesus. Hanya nama "Yudas anak Yesus" yang tidak muncul dalam Perjanjian Baru.

Pada penggalian 1980 tulang-belulang dari dalam semua osuarium sudah diserahkan kepada otoritas Yahudi Ortodoks setempat untuk dikuburkan kembali. Pemeriksaan DNA tetap bisa dilakukan dengan memakai sisa-sisa endapan organik dari human residue yang menempel pada permukaan-permukaan dinding sebelah dalam atau mengendap di dasar osuarium. Pada tahun 2005 Dr Carney Matheson dan timnya dari Laboratorium Paleo-DNA Universitas Lakehead di Ontario telah memeriksa mitokondria DNA terhadap human residue dari "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena". Dari penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan persaudaraan maternal antara "Yesus" dan "Maria Magdalena". Artinya, Maria Magdalena dari makam Talpiot bukan ibu dari Yesus dan juga bukan saudara kandung perempuannya. Bisa jadi, karena ditemukan dalam satu makam keluarga, Maria Magdalena dalam makam Talpiot ini adalah orang luar yang menjadi istri sah Yesus, dan bisa jadi juga "Yudas anak Yesus" adalah anak Maria Magdalena juga.

Pada 21 Oktober 2002 di Washington DC, Hershel Shanks, editor kondang dari Biblical Archaelogy Review, dan Discovery Channel mengumumkan telah ditemukan sebuah osuarium yang berinskripsi Aramaik "Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus". Osuarium Yakobus ini, yang dimiliki Oded Golan (pedagang barang antik kelahiran Tel Aviv), segera terkenal ke seluruh dunia. Osuarium ini, ketika sudah kembali ke Israel sehabis dipamerkan antara lain di Royal Ontario Museum disita oleh OKI, dan Oded Golan ditangkap dengan tuduhan telah memalsukan inskripsi "saudara dari Yesus" pada osuarium itu berdasarkan hasil tes isotop yang telah dilakuan Prof Yuval Goren, pakar geologi dari Universitas Tel Aviv. Namun, pada Januari 2007, di ruang sidang pengadilan Israel atas Oded Golan, Prof Goren menyatakan bahwa pada sedikitnya dua huruf dari nama "Yeshua" (Yesus) pada inskripsi Aramaik di osuarium Yakobus ini terdapat lapisan mineral patina yang asli dan berusia tua. Dengan demikian, keseluruhan frase "saudara dari Yesus" pada osuarium Yakobus itu harus dinyatakan asli.

Sementara ini, Tabor dan Jacobovici berpendapat ada kemungkinan bahwa satu osuarium yang telah hilang dari makam Talpiot itu adalah osuarium Yakobus. Shimon Gibson sendiri berpendapat ada kemungkinan bahwa osuarium Yakobus adalah osuarium ke-11 dari makam Talpiot yang telah dicuri dari makam ini sebelum penggalian dilakukan pada 1980. Ketika diukur kembali, didapati ukuran osuarium Yakobus ini sama dengan ukuran osuarium yang telah hilang itu. Penelitian lapisan mineral patina pada osuarium Yakobus yang telah dilakukan, yang dibandingkan dengan patina-patina dari osuarium-osuarium lain dari makam Talpiot dan dari makam-makam lain di sekitarnya yang dipilih secara acak, menunjukkan kesamaan "sidik jari" mineral patina dari osuarium Yakobus dengan "sidik jari" mineral patina dari osuarium-osuarium lainnya dari makam Talpiot. Ini memastikan bahwa osuarium Yakobus berasal dari makam Talpiot. Sisa-sisa tulang-belulang Yakobus masih tersedia. Jika pengujian DNA diizinkan oleh OKI untuk dilakukan pada human residue Yakobus (hingga kini OKI masih belum memberi izin), dan jika terbukti bahwa DNA Yakobus match dengan DNA Yesus (yang sudah diketahui), maka akan tidak terbantahkan lagi bahwa makam keluarga di Talpiot itu adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth, Yesus yang punya saudara satu ayah, yang bernama Yakobus, sebagaimana dicatat baik oleh tradisi Kristen (Galatia 1:19; Markus 6:3) maupun oleh Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi.

Beberapa sanggahan

Sejak ekskavasi 1980, nama-nama pada osuarium-osuarium makam Talpiot dipandang oleh sejumlah arkeolog Israel sebagai nama-nama yang umum dipakai di Jerusalem pra-tahun 70. Sifatnya sebagai nama-nama umum inilah yang telah lama dijadikan alasan oleh banyak pakar Kristen menyanggah pendapat bahwa makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth. Namun, Jacobovici, Pellegrino, dan James D. Tabor berpendapat bahwa terkumpulnya nama-nama anggota keluarga Yesus dalam makam Talpiot sebagai satu cluster adalah suatu kejadian yang unik, yang belum pernah ditemukan sebelumnya di dalam suatu situs galian arkeologis yang terlokasi dan terkontrol. Pandangan mereka ini didukung oleh kajian statistik yang memanfaatkan teori probabilitas dan yang juga memperhitungkan baik demografi kota Jerusalem pra-tahun 70 (berpenduduk antara 25.000 dan 75.000) maupun data nama-nama yang telah dicatat yang berasal dari semua makam yang telah ditemukan di kawasan-kawasan perbukitan kota Jerusalem. Menurut pakar statistik dari Universitas Toronto, Prof Andrey Feuerverger, kemunculan cluster atau kumpulan keempat nama saja yang berkaitan dengan Yesus ("Yesus anak Yusuf", "Maria", "Maria Magdalena", dan "Yoses") dalam satu makam, dalam konteks kota Jerusalem pada periode Bait Allah Kedua akhir, adalah suatu kejadian yang unik dengan peluang 1:600. Artinya, dari 600 kasus, hanya akan ada satu kemungkinan kasus seperti kasus makam Talpiot. Jika osuarium Yakobus dimasukkan ke dalam makam Talpiot, maka, menurut Feuerverger, peluangnya berubah menjadi 1:30.000. Artinya, dari 30.000 kasus, hanya akan ada satu peluang kasus yang seperti kasus makam Talpiot.

Sanggahan lainnya adalah tidak mungkin makam Talpiot makam keluarga Yesus sebab di dalam Perjanjian Baru tidak ada satu pun petunjuk yang menyatakan bahwa Yesus mempunyai anak. Ini adalah sebuah argumentum e silentio yang keliru. Perjanjian Baru tidak menyebut, sebagai contoh, nama-nama Philo, Rabbi Hillel, Flavius Yosefus, Hanina ben Dosa, Apollonius dari Tyana. Namun, semua orang ini adalah orang-orang yang nyata hidup dalam dunia ketika kekristenan baru lahir. Selain itu, harus juga dipertimbangkan adanya rujukan-rujukan kepada "murid yang dikasihi" dalam Injil Yohanes yang digambarkan "bersandar pada Yesus di sebelah kanan-Nya" pada waktu perjamuan malam (Yohanes 13:23); dan juga rujukan dalam Injil Markus kepada "seorang muda" yang berlari "dengan telanjang" ketika Yesus ditangkap (Markus 14:51-52)—apakah tidak mungkin, bahwa rujukan-rujukan tersamar ini sebetulnya mengacu kepada anak Yesus, berusia belasan tahun, yang identitas sebenarnya harus dirahasiakan mengingat Roma baru saja menumpas sebuah gerakan messianik dengan menyalibkan sang pemimpinnya, Yesus dari Nazareth, yang mengklaim diri "Raja orang Yahudi"?

Sanggahan berikutnya adalah bahwa karena keluarga Yesus dari Nazareth adalah keluarga miskin yang tinggal di Galilea, maka mustahil mereka bisa memiliki sebuah makam keluarga di kota Jerusalem; kalaupun keluarga Yesus mampu membeli sebuah makam keluarga, makam ini pastilah sederhana dan berlokasi di Nazareth, bukan di Jerusalem.

Dibandingkan dengan makam-makam lain di kawasan dekat Jerusalem, makam Talpiot itu bersahaja dan sempit, dengan ukuran 3 x 3 meter dan dengan tinggi kurang dari 2 meter. Makam semacam ini dapat disediakan oleh para pengikut perdana Yesus. Sepeninggal Yesus, mereka memusatkan pergerakan messianik mereka di Jerusalem dengan dipimpin oleh Yakobus (wafat tahun 62), saudara Yesus, yang semasa Yesus masih hidup telah menetap di Jerusalem. Di Betania, tidak jauh dari Jerusalem, berdiam para pengikut setia Yesus, seperti Maria, Marta, dan Lazarus yang dapat menyediakan sebuah makam keluarga.

Pada situs-situs galian arkeologis di sekitar Bukit Zaitun (dilakukan oleh arkeolog-arkeolog Mancini, Bagatti dan Milik, serta Sukenik dan Avigad) yang tidak jauh dari Kota Lama Jerusalem, khususnya pada situs suci Kristen Dominus Flevit ("Tuhan menangis"), telah ditemukan banyak osuarium yang berinskripsi nama-nama Yahudi-Kristen (Jack Finegan, Archaelogy of the New Testament, 359-374). Nama-nama ini adalah nama-nama para murid perdana Yesus yang tetap melanjutkan gerakan messianik yang dipusatkan di Jerusalem sebelum kota ini dihancurkan pada tahun 70 M oleh Roma.

Dalam Markus 6:29 dikatakan bahwa ketika murid-murid Yohanes Pembaptis mendengar sang guru mereka sudah dibunuh oleh Herodes Antipas, mereka segera datang mengambil mayatnya lalu meletakkannya dalam sebuah kubur. Hal yang serupa terjadi juga pada mayat Yesus. Yusuf orang Arimatea, seorang "yang telah menjadi murid Yesus juga" (Matius 27:57) memberikan sebuah makam miliknya sendiri "yang digali di dalam bukit batu" untuk penguburan sementara mayat Yesus (karena hari Sabat sebentar lagi tiba!) (Markus 15:42-47). Dari kubur ini kaum keluarga Yesus kemudian memindahkan mayat Yesus ke makam yang permanen yang disediakan para pengikut pergerakan messianik Yesus yang kini berpusat di Jerusalem. Telah dipindahkannya mayat Yesus ke kubur lain inilah yang menyebabkan kubur pertama itu kosong. Ketika waktunya telah tiba (satu tahun kemudian), tulang-belulang Yesus dimasukkan ke dalam osuarium.

Sanggahan lainnya bercorak apologetis teologis, bukan historis, datang dari kalangan Kristen evangelis. Bagi kalangan ini, di bumi ini tidak mungkin ada sisa-sisa jasad Yesus sebab Yesus sudah bangkit dengan raganya dan sudah naik ke surga juga dengan keseluruhan raganya (daging, tulang, organ-organ dalam, dan semua lainnya). Teologi mereka pakai untuk menghambat penyelidikan interdisipliner terhadap makam Talpiot dan osuarium-osuarium yang terdapat di dalamnya. Kalangan inilah, dengan literalisme biblis mereka, yang sama sekali tidak mau diperhatikan oleh para pakar peneliti makam Talpiot.

Penutup

Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi ini, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis Perjanjian Baru sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi. Dalam metafora sebuah kejadian hanya ada di dalam pengalaman subyektif, bukan dalam realitas obyektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah "tubuh rohani", bukan tubuh jasmani protoplasmik.

IOANES RAKHMAT Dosen Kajian Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta

So, Anda mau menanggapi tulisan ini???

Wednesday, February 21, 2007

Christological Test

CHRISTOLOGICAL TEST
Telaah sederhana 1 Yohanes 5.6-12

5:6 Inilah Dia yang telah datang dengan air dan darah, yaitu Yesus Kristus, bukan saja dengan air, tetapi dengan air dan dengan darah. Dan Rohlah yang memberi kesaksian, karena Roh adalah kebenaran.
5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.
5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.
5:9 Kita menerima kesaksian manusia, tetapi kesaksian Allah lebih kuat. Sebab demikianlah kesaksian yang diberikan Allah tentang Anak-Nya.
5:10 Barangsiapa percaya kepada Anak Allah, ia mempunyai kesaksian itu di dalam dirinya; barangsiapa tidak percaya kepada Allah, ia membuat Dia menjadi pendusta, karena ia tidak percaya akan kesaksian yang diberikan Allah tentang Anak-Nya.
5:11 Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya.
5:12 Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup.


1 Yohanes 5.6-12

Bagian ini merupakan pemaknaan dari konfesi (pengakuan iman) dari sang penulis, yang telah tersirat di dalam 5.1, yang kemudian mengalir terus sampai kepada puncak pengakuannya bahwa siapa yang percaya memiliki hidup yang kekal.

Pengakuan tersebut memiliki kesinambungan tema dengan Yoh. 5.31-40, dan cukup jelas ketika kita menelisik kalimat-kalimat dalam bagian ini. Sang penulis memulai dengan proper name “Yesus Kristus” yang tak lain merupakan kependekan dari “Yesus adalah Kristus” atau “Yesus adalah Mesias.” Perhatikan di 4.2, penulis mengetengahkan bahwa “Yesus sudah datang sebagai manusia.” Tak pelak lagi, sebutan ganda yang diatribusikan kepada Yesus dari Nasaret membuat para pembaca harus berkesimpulan bahwa Yesus ini adalah Allah, sekaligus manusia.

Inilah yang meretas jalan untuk memahami istilah “air” dan “darah.” Ada sebagian orang kala itu yang beranggapan bahwa Kristus hanya datang oleh “air” saja, yaitu bahwa Kristus yang berasal dari surga, yang ilahi, turun ke atas Yesus manakala Ia dibaptis dan terus meninggalkan-Nya sebelum Ia disalibkan. Paham ini diyakini oleh Cerinthus. Penulis 1 Yohanes tidak menutupi pentingnya makna pembaptisan Yesus (air) tetapi, ia kemudian menekankan bahwa Ia pun datang oleh darah, yaitu bahwa sebagai seorang manusia sejati yang memiliki daging dan darah.

Sedangkan sebagian lagi orang percaya, bahwa Yesus memang manusia biasa dan mati disalib. Mereka berhenti pada pemahaman ini saja, dan implikasinya adalah darah Yesus tidak memiliki kuasa untuk menghapuskan dosa-dosa.

Hal yang cukup sulit untuk dimengerti dari ayat 6 adalah perihal Roh yang memberikan kesaksian. Tidak jelas apa maksudnya, meskipun keempat Injil memberikan ruang yang luas untuk Roh yang turun ke atas-Nya sebagai kuasa yang menyertai pelayanan-Nya (Yoh. 1.29-34).

Penafsiran yang memadai untuk masalah ini adalah bahwa air dan darah mengacu kepada keniscayaan pemaknaan akan kematian Yesus. Roh adalah kebenaran (bdk. Yoh. 14.6; 16.13) serta satu dari ketiga hal yang bersaksi tentang Yesus selain air dan darah. Air baptisan yang berpadu dengan Roh menyatakan Yesus sebagai Putra Allah, Mesias, dan oleh darah-Nya Ia membasuh segala dosa.

Tema “saksi” adalah milik khas penulis Yohanes. Tema Roh sebagai saksi juga berparalel dengan Yohanes 15.26-27, meskipun cukup unik beritanya di sana. Teks 1Yoh. 5.7-8, yang sering disebut sebagai Johannine Comma, tidak dijumpai dalam naskah-naskah Yunani awal dan cukup membuat teka-teki mengenai maksud sisipan ini. Nampaknya, kemendesakan untuk menyisipkan berita ini dipicu oleh pemahaman Gereja mengenai perlunya sebanyak mungkin saksi, berdasarkan terang pemikiran Semitik atas Ulangan 17.6; 19.15.

Meskipun kesaksian Yohanes Pembaptis dimasukkan di sini (kesaksian manusia), sang penulis menyatakan bahwa kesaksian Allah lebih besar sehingga peran Roh jauh lebih superior untuk menyatakan bahwa Yesus inilah Anak Allah. Inilah yang menjadi penekanan penting dalam kesaksian yang ditujukan bagi Yesus. Inilah yang ditentang oleh para lawan-lawan kekristenan. Mereka yang mempercayai berita para saksi ini memiliki jaminan dari Allah, sedangkan mereka yang menolak hal ini telah menuding Allah sebagai pembohong atau pendusta (5.10; bdk. 1.10).

Objek pengutusan dan penyataan Sang Putra adalah penyelamatan dunia (4.14). Kesaksian Allah bukan sekadar bagi Sang Putra, tetapi bagi Sang Putra sebagai satu-satunya yang Ia telah berikan hidup yang kekal, atau yang dapat disingkat dengan kata “hidup.” Memiliki Sang Anak berarti percaya di dalam Dia, dan itu berarti memiliki hidup. Tujuan kehadiran Sang Putra, bagi sang penulis, adalah memberikan hidup yang kekal!

TERPUJILAH ALLAH!

Referensi bacaan:

Brown, Raymond E. The Epistles of John. Anchor Bible 30. New York: Doubleday, 1982.

Brown, Raymond E. Gereja yang Apostolik. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Hal. 112-137

Burge, Gary M. “Letters of John,” dalam Dictionary of the Later New Testament and Its Development. Ed. Ralph P. Martin dan P. H. Davids. Downes Grove: InterVarsity, 1997. Hal. 590-593.

Hurtado, Larry W. “Christology,” dalam Dictionary of the Later New Testament and Its Development. Hal. 175-176.

Hurtado, Larry W. Lord Jesus Christ. Grand Rapids: Eerdmans, 2003. Hal. 52, 241.

Marshall, I. H. The Epistles of John. NICNT. Grand Rapids: Eerdmans, 1978.

Seifrid, M. A. “Death of Christ,” dalam dalam Dictionary of the Later New Testament and Its Development. Hal. 281-283.

Stott, John. The Cross of Christ. Leicester: InterVarsity, 1986. Hal. 240-243.

Letters of Pliny the Younger and the Empreror Trajan

Letters of Pliny the Younger and the Emperor Trajan


These letters concern an episode which marks the first time the Roman government recognized Christianity as a religion separate from Judaism, and sets a precedent for the massive persecution of Christians that takes place in the second and third centuries.

In the year 112, Pliny the Younger was faced with a dilemma. He was the governor in the Roman province of Bithynia (modern day Turkey) when a number of Christians were brought into his court. It is unclear what the initial charges are, but he ultimately decided, despite the fact that the Christians seemed generally harmless to him, that he should execute them if they refused to recant their faith. Because he is unsure as to whether he can kill them legally for no other crime than their faith, he writes to his friend the Emperor for advice. The Emperor replies that he did the right thing in excecuting them, but advises him not to seek out Christians for prosecution.


Pliny’s Letter


Sir,

It is my constant method to apply myself to you for the resolution of all my doubts; for who can better govern my dilatory way of proceeding or instruct my ignorance? I have never been present at the examination of the Christians [by others], on which account I am unacquainted with what uses to be inquired into, and what, and how far they used to be punished; nor are my doubts small, whether there be not a distinction to be made between the ages [of the accused]? and whether tender youth ought to have the same punishment with strong men? Whether there be not room for pardon upon repentance?" or whether it may not be an advantage to one that had been a Christian, that he has forsaken Christianity? Whether the bare name, without any crimes besides, or the crimes adhering to that name, be to be punished? In the meantime, I have taken this course about those who have been brought before me as Christians. I asked them whether they were Christians or not? If they confessed that they were Christians, I asked them again, and a third time, intermixing threatenings with the questions. If they persevered in their confession, I ordered them to be executed; for I did not doubt but, let their confession be of any sort whatsoever, this positiveness and inflexible obstinacy deserved to be punished. There have been some of this mad sect whom I took notice of in particular as Roman citizens, that they might be sent to that city. After some time, as is usual in such examinations, the crime spread itself and many more cases came before me. A libel was sent to me, though without an author, containing many names [of persons accused]. These denied that they were Christians now, or ever had been. They called upon the gods, and supplicated to your image, which I caused to be brought to me for that purpose, with frankincense and wine; they also cursed Christ; none of which things, it is said, can any of those that are ready Christians be compelled to do; so I thought fit to let them go. Others of them that were named in the libel, said they were Christians, but presently denied it again; that indeed they had been Christians, but had ceased to be so, some three years, some many more; and one there was that said he had not been so these twenty years. All these worshipped your image, and the images of our gods; these also cursed Christ. However, they assured me that the main of their fault, or of their mistake was this:-That they were wont, on a stated day, to meet together before it was light, and to sing a hymn to Christ, as to a god, alternately; and to oblige themselves by a sacrament [or oath], not to do anything that was ill: but that they would commit no theft, or pilfering, or adultery; that they would not break their promises, or deny what was deposited with them, when it was required back again; after which it was their custom to depart, and to meet again at a common but innocent meal, which they had left off upon that edict which I published at your command, and wherein I had forbidden any such conventicles. These examinations made me think it necessary to inquire by torments what the truth was; which I did of two servant maids, who were called Deaconesses: but still I discovered no more than that they were addicted to a bad and to an extravagant superstition. Hereupon I have put off any further examinations, and have recourse to you, for the affair seems to be well worth consultation, especially on account of the number of those that are in danger; for there are many of every age, of every rank, and of both sexes, who are now and hereafter likely to be called to account, and to be in danger; for this superstition is spread like a contagion, not only into cities and towns, but into country villages also, which yet there is reason to hope may be stopped and corrected. To be sure, the temples, which were almost forsaken, begin already to be frequented; and the holy solemnities, which were long intermitted, begin to be revived. The sacrifices begin to sell well everywhere, of which very few purchasers had of late appeared; whereby it is easy to suppose how great a multitude of men may be amended, if place for repentance be admitted.


Trajan’s Letter


My Pliny,

You have taken the method which you ought in examining the causes of those that had been accused as Christians, for indeed no certain and general form of judging can be ordained in this case. These people are not to be sought for; but if they be accused and convicted, they are to be punished; but with this caution, that he who denies himself to be a Christian, and makes it plain that he is not so by supplicating to our gods, although he had been so formerly, may be allowed pardon, upon his repentance. As for libels sent without an author, they ought to have no place in any accusation whatsoever, for that would be a thing of very ill example, and not agreeable to my reign.

From The Works of Josephus,
translated by William Whiston
Hendrickson Publishers, 1987

Tuesday, February 20, 2007

Jesus and Jehonanan



Jesus and Jehohanan: An Archaeological Notes on Crucifixion
by Rev. Dr. J. H. Charlesworth, from Expository Times, February 1973

At the beginning of the summer of 1968 a team of archaeologists under the direction of V. Tzaferis discovered four cave-tombs at Giv'at ha-Mivtar (Ras el-Masaref), which is just north of Jerusalem near Mount Scopus and immediately west of the road to Nablus. The date of the tombs, revealed by the pottery in situ, ranged from the late second century B.C. until A.D. 70. These family tombs with branching chambers, which had been hewn out of soft limestone, belong to the Jewish cemetery of Jesus' time that extends from Mount Scopus in the east to the Sanhedriya tombs in the north west.

Within the caves were found fifteen limestone ossuaries which contained the bones of thirty-five individuals. These skeletons reveal under the examination of specialists a startling tale of the turbulence and agony that confronted the Jews during the century in which Jesus lived. Nine of the thirty-five individuals had met violent death. Three children, ranging in ages from eight months to eight years, died from starvation. A child of almost four expired after much suffering from an arrow wound that penetrated the left of his skull (the occipital bone). A young man of about seventeen years burned to death cruelly bound upon a rack, as inferred by the grey and white alternate lines on his left fibula. A slightly older female also died from conflagration. An old women of nearly sixty probably collapsed from the crushing blow of a weapon like a mace; her atlas, axis vertebrae and occipital bone were shattered. A woman in her early thirties died in childbirth, she still retained a fetus in her pelvis. Finally, and most importantly for this note, a man between twenty-four and twenty-eight years of age was crucified.

The name of the man was incised on his ossuary in letters 2 cm high: Jehohanan. He was crucified probably between A.D. 7, the time of the census revolt, and 66, the beginning of the war against Rome.... According to Dr. N. Haas of the Department of Anatomy, Hebrew University--Hadassah Medical School, Jehohanan experienced three traumatic episodes. The cleft palate on the right side and the associated asymmetries of his face likely resulted from the deterioration of his mother's diet during the first few weeks of pregnancy. The disproportion of his cerebral cranium (pladiocephaly) were caused by difficulties during birth. All the marks of violence on the skeleton resulted directly or indirectly from crucifixion.

A description of Jehohanan's death would be helpful toward imaging Jesus' suffering since both were crucified by the Romans in the same century and not far from the walls of Jerusalem. The lower third of his right radial bone contains a groove that was probably caused by the friction between a nail and the bone. Hence, his arms were nailed to the patibulum through the forearms and not through the wrists, the bones of which 'were found undamaged.' It is logical to infer, therefore, that, contrary to the customary portrayal in paintings and biographies,' Jesus had his arms pierced and not his hands. We should probably translate the only two passages in the Gospels that mention of the crucified Jesus (Lk 24, Jn 20) not as 'hands', but with Hesiod, Rufus Medicus, and others as 'arms'. Hence, according to Jn 20, Jesus said to Thomas, 'place your finger here and observe my arms...'

The legs h
ad been pressed together, bent, and twisted to that the calves were parallel to the patibulum. The feet were secured to the cross by one iron nail driven simultaneously through both heels (tuber calcanei). The iron nail contains after its round head the following: sediment, fragments of wood (Pistacia or Acacia), a limy crust, a portion of the right heel bone, a smaller piece of the left heel bone, and a fragment of olive wood. It is apparent that Jehohanan had been nailed to the olive wood cross with the right foot above the left. Dr. Haas is undoubtedly correct, furthermore, in concluding that the iron nail bent approximately 2 cm because it hit a knot necessitating the amputation of the feet to remove the corpse from the cross.

While Jehohanan was on the cross, presumably after an interval of some time, his legs were fractured. Once forcible blow from a massive weapon delivered the coup de grace, shattering the right shins into slivers, and fracturing the left ones, that were contiguous with the cross (simplex), in a simple, oblique line.

The above discoveries throw some light on the manner in which Jesus died, but the question with which we began has not been adequately answered. How could Jesus have died so soon?

Christian art has continuously portrayed Jesus as attached to the cross with his extremities fully extended. Jehohanan's torso was forced into a twisted position with his calves and thighs bent and unnaturally twisted. Since the bent nail did not secure the legs to the cross, a plank (sedecula) was probably fastened to the simplex, providing sufficient support for the buttocks and prolonging torture. If Jesus had been crucified in a similar fashion, and we cannot be certain of this although it is probable, his contorted muscles probably would have generated spasmodic contractions (tetanizations) and rigid cramps would eventually permeate the diaphragm and lungs so as to prohibit inhalation and exhalation. Jesus could have died after six hours.

The two crucified with Jesus, however, did not die so quickly--could this have been because they had not been previously tortured, or because they had been crucified in another manner? Perhaps it is logical to assume that because Jesus had been the centre of attention for at least the preceding week he might have received more of the executioners' attention prior to the final acts of crucifixion. Especially would this be the situation if the other two were crucified because they had been judged to be robbers or criminals (cf. Km 15, Mt 27, and Lk 23) but Jesus condemned for insurrection against Rome. These speculations are not wild but they do extend beyond all the available data: we can only wonder why Jehohanan was crucified, why his legs were broken, and if there were a particularly torturous crucifixion for one charged with insurrection. As we search for these answers we must remember Jesus' particular circumstance: the torture could not last more than seven hours because the approaching Sabbath must not be violated, especially near conservative Jerusalem.

In conclusion, we now have empirical evidence of a crucifixion. Death on a cross could be prolonged or swift. The crucifixion of Josephus' acquaintance who survived should not be projected to the crucifixion of Jesus. The major extrabiblical paradigm for crucifixion is no longer Josephus; it is the archaeological data summarized above. The crucifixion of Jesus, who did not possess a gladiator's physique and stamina, did not commence but culminated when he was nailed to the cross. After the brutal, all night scourging by Roman soldiers, who would have relished an opportunity to vent their hatred of the Jews and disgust for Palestinian life, Jesus was practically dead. I see not reason why the Synoptic account does not contain one of the few bruta facta from his life when it reports that, as he began to stagger from Herod's palace to Golgotha, he was too weak to carry the cross; Simon of Cyrene carried it for him. Metaphors should not be confused with actualities nor faith with history. It is not a confession of faith to affirm that Jesus died on Golgotha that Friday afternoon; it is a probability obtained by the highest canons of scientific historical research. The humanists' and rationalists' facile answer to the question why Jesus died so quickly is no longer acceptable in critical circles; note, for example, the concluding remark in the most recent 'biography' of Jesus by a Jewish scholar: 'Others thought that he called out in despair: "My God, my God (Eli, Eli), why hast thou forsaken me?" And Jesus died."

© Appeared in the Expository Times February 1973 volume IXXXIV No. 6. The Expository Times is published by:




T&T Clark


59 George Street


Edinburgh EH2 2LQ


Scotland


telephone 0131 225 4703


fax: 0131 220 4260