Friday, April 10, 2009

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (5)

Tanggapan

Jadi, bagaimana menanggapi film ini? Saya mengajak pembaca untuk menelaah dengan cerdas dan santun, tak perlu berburuk sangka. Tidak perlu emosi apalagi menjatuhkan penghakiman untuk ke sekian kalinya bagi Nikos Kazantzakis dan Martin Scorsese sebagai sutradara film. Jadilah pembaca/ penonton yang cerdas. Untuk itu, mari kita menelaah “epistemologi”-nya. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menanyakan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan. Dengan begitu, menelaah film ini, kita perlu bertanya, dari mana Kazantzakis mendapatkan pemahamannya?

Pertama, Kazantzakis mengalami liku-liku kehidupan yang tidak mudah. Bagaimana pun juga, liku-liku hidup ini menentukan seseorang menuangkan buah-buah pemikirannya. Ia pernah gagal dalam berumah tangga. Hidupnya tidak kaya. Ia menghasilkan karya-karyanya dalam bahasa Yunani modern, dan pada waktu itu tidak banyak peminat buku berbahasa Yunani. Terjemahan ke bahasa-bahasa Eropa baru terbit di usianya yang sudah lanjut. Ia menderita leukimia. Oleh karena itu, ketika berhasil menerbitkan karya Last Temptation ini, ia mengatakan telah memenuhi kewajiban dari seseorang yang telah bergumul banyak, dan banyak mengalami kepahitan dalam hidup, seseorang yang juga memiliki banyak harapan.

Kedua, Kazantzakis terpesona dengan filsafat eksistensialis, dan sepanjang kehidupannya ia berkelana untuk mendapatkan makna hidup. Maka, menonton film ini, Anda harus memikirkan hal-hal eksistensial berikut ini:

· Pikirkan film ini sebagai sebuah peluang untuk mendengar berbagai suara yang berbeda-beda, bahkan yang saling berkonflik dalam diri Anda sendiri, dan menyelami kepercayaan, nilai, prioritas dan cita-cita.

· Pikirkan film ini sebagai sebuah kesempatan untuk merenungkan ulang pengalaman Anda mengenai rasa bersalah, kesepian, ketidakberdayaan, keragu-raguan dan ketakutan.

· Pikirkan film ini sebagai sebuah perjumpaan tertutup dengan pemahaman eksistensial Anda mengenai kejahatan dan pencobaan.

· Pikirkan film ini sebagai langkah untuk menghadapi perubahan dan bagaimana Anda berespons terhadap dunia.

· Pikirkan film ini sebagai cara untuk mendapatkan guru-guru yang dapat menjadi model atau sahabat-sahabat yang simpatik yang berperan dalam pertumbuhan spiritual Anda.

· Pikirkan film ini sebagai suatu kesempatan untuk berhubungan dengan dampak penderitaan dan pengurbanan atas pertumbuhan kerohanian Anda.

· Pikirkan film ini sebagai suatu perjalanan yang akan memberi Anda pemahaman yang segar tentang makna pergumulan, kasih dan tanggung jawab dalam pengalaman religius Anda.

Dalam pada itu, Anda pun harus mawas diri bahwa filsafat eksistensialisme mengantar kepada nihilisme dan keputusasaan. Kebanyakan filsuf dan seniman eksistensialis dalam masa kejayaanya justru menjadi tidak/kurang waras dan bunuh diri. Mengapa? Aspek antroposentris menjadi bahasa utamanya. Bagi mereka, kehidupan adalah perjuangan yang harus dihadapi seorang diri. Tidak ada pertolongan dari luar. Manusia adalah juruselamat bagi dirinya sendiri. Namun, ketika manusia semakin masuk ke dalam dirinya dan mencoba menyelami dirinya, dalam hatinya muncul kecemasan yang tiada tara (Angst), yang pada akhirnya mengantar dia kepada kesia-siaan hidup.

Ketiga, filosofi dualistik Yunani bermain besar di dalam novel dan film ini. Siapa Allah? Di mana Allah? Apa yang diperbuat-Nya? Allah adalah Bapa-nya Yesus. Dia di surga. Dia memberi Yesus misi perutusan. Tetapi Ia tidak memiliki kuasa apa-apa atas diri Yesus. Antara Allah dan Yesus tidak ada kesatuan. Allah itu Roh. Ia di surga. Allah banyak membisu terhadap Yesus. Ia berintervensi hanya melalui kata-kata yang dari surga. Sedangkan Yesus adalah materi. Ia adalah manusia biasa, yang terpisah dari Allah. Yesus harus mencari jati dirinya sendiri. Ia ingin menghayati kebersatuannya dengan Allah melalui tindak-tindak askese. Ia mengatakan banyak kata yang menunjukkan kebingungan, kecemasan dan ketakutan. Yesus sendiri “bingung” dengan grand design Allah atas alam semesta ciptaan Allah Bapanya.

Betapa berbeda dengan cara pandang dunia Kristen yang integral. Allah bertindak di dalam Kristus untuk memulihkan dunia. Allah tidak semata-mata berurusan dengan keselamatan manusia. Ia memiliki grand design untuk keselamatan tata ciptaan. Ia tidak sekadar memberi tiap manusia tugas dan misi, tetapi Ia bertindak di dalamnya, melalui Yesus Sang Mesias. Kalau pun Yesus “belajar” untuk mengenal kehendak Allah atas diri dan perutusan-Nya di dunia, tak pernah diceritakan Ia mengambil perilaku asketis. Setiap tindakan dan ucapan-Nya, pengajaran maupun mukjizat-Nya, merupakan penggenapan dari firman Allah yang telah tertulis di Perjanjian Lama.

Keempat, betapa pun film ini mampu mengantar kita kepada permenungan eksistensial, hendaklah kita selalu sadar bahwa tidak mungkin kita berhenti di situ. Kita membutuhkan Juruselamat di luar diri kita. Ada pribadi yang lebih besar, yang tidak hanya melihat dari kejauhan, yang hanya memberi misi dan tuntutan, namun Pribadi itu yang datang dan mengubah kita dari dalam. Di dalam Kristus, kita mendapatkan pembenaran kita, yaitu pengampunan dosa (2Kor. 5:21). Melalui kuasa Roh Kudus, kita dilahirkan kembali untuk suatu kehidupan baru (Yoh. 3:3, 5), sehingga hidup kita sekarang ini adalah sebuah cicipan pertama dari antisipasi ciptaan baru yang akan datang dalam kesempurnaannya kelak.

Kita tahu bahwa Allah telah bertindak melalui Kristus dan di dalam kuasa Roh Kudus untuk mewujudnyatakan suatu tata kehidupan baru, yang berpuncak pada datangnya langit dan bumi yang baru. Jika kita hidup di dalam pengharapan ini, maka kita dapat melangkahkan kaki dengan jelas, tanpa putus asa. Kita tidak sedang berjuang seorang diri! Kita memiliki Penolong yang Mahakuasa! Kita yakin bahwa Ia pasti berjaya!

Terpujilah Allah!

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (4)

Pengajaran

Bila seksama diamati, tema yang dikembangkan oleh Nikos Kazantzakis nampaknya diambil dari kalimat Yesus di Getsemani, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Bagaimana bila Yesus mempunyai kesempatan untuk menghindarkan misi yang paling ultimat dalam hidupnya, yaitu salib?

Namun demikian, karena film ini tidak didasarkan pada catatan-catatan Injil, tetapi sebuah novel imajinatif, maka sebenarnya hal ini tak perlu terlalu merisaukan kita. Yesus yang ditampilkan tentu berbeda dengan Yesus yang kita jumpai dalam halaman-halaman Injil. Kita harus ingat, potret Yesus Kristus dalam Injil adalah Allah sejati dan manusia sejati. Sedangkan Yesus dalam film ini adalah Yesus yang bukan saja manusiawi, tetapi Yesus yang dapat berdosa, Yesus yang menjadi bagian dari umat manusia berdosa. Dengan demikian, kita tidak akan pernah berjumpa dengan masalah kebersatuan Allah dan Kristus sejak kekekalan, kepatuhan total kepada misi Allah Bapa.

Kita tidak pernah menemukan arti penebusan di film ini, bahwa Sang Kristus menyerahkan nyawa-Nya sebagai “penebusan” (arrabon) bagi banyak orang (Mrk. 10:45). Kristus dalam Last Temptation tidak sedang menebus dosa. Ia bergumul dengan dirinya sendiri, dengan emosi, perasaan, dan kehendaknya. Tema mesianik yang maju sebagai tokoh yang diharapkan orang Yahudi sempat beberapa kali dimunculkan, tetapi pada akhirnya Sang Mesias yang tampil itu adalah Mesias yang mengerjakan misi salib karena pergumulan eksistensial.

Dalam tiap-tiap babak kehidupannya, Yesus juga dipotret sebagai orang yang mencari makna hidup. Ia tidak tahu bahwa ia adalah Mesias. Bahkan ia terus mencari jati dirinya. Kerap kali ia mengalami Angst, rasa takut yang luar biasa. Ia sering menyepi di padang gurun untuk bertapa dan bergulat untuk menaklukkan pencobaan yang terus muncul dari hatinya.

Tesis dasarnya adalah “pergumulan setiap manusia.” Bila kita menyimak tuturan Kazantzakis di bagian akhir novelnya, kita akan tahu apa yang sedang dikomunikasikannya:

It was the Last Temptation which came in the space of a lightning flash to trouble the Savior’s last moments.

But all at once Christ shook his head violently, opened his eyes and saw. No, he was not a traitor, glory be to God! He was not a deserter. He had accomplished the mission which the Lord had entrusted in him. He had not married, had not lived a happy life. He had reached the summit of sacrifice: he was nailed upon the Cross.

Content, he closed his eyes. And then there was a great triumphant cry: It is accomplished!

In other words, I have accomplished my duty, I am being crucified. I did not fall into temptation . . .

This book was not written because I wanted to offer a supreme model to the man who struggles; I wanted to show him that he must not fear pain, temptation or death—because all three can be conquered, all three have been conquered. Christ suffered pain, and since then pain has been sanctified. Temptation fought until the very last moment to lead him astray, and Temptation was defeated. Christ died on the Cross, and at that instant death was vanquished forever.

Every obstacles in his journey became a milestone, an occasion for further triumph. We have a model in front of us now, a model who blazes our trail and gives us strength.

This book is not a biography, it is a confession of every man who struggles. In publishing it I have fulfilled my duty, the duty of a person who struggled much, was much embittered in his life, and had many hopes. I am certain that every free man who read this book, so filled as it is with love, will more than ever before, better and ever before, love Christ.

Di mata Kazantzakis, Yesus adalah sosok yang mewakili pergulatannya (dan pergulatan hidup setiap insan) yang memiliki problem-problem metafisik dan eksistensial. Yesus yang selalu mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantuinya, yang sering menceraikan kesadarannya akan tugas dan asal-muasalnya, serta keinginan manusiawinya untuk menikmati kehidupan, untuk mencintai dan dicintai, dan untuk memiliki keluarga yang bahagia. Yesus tampil sebagai figur yang tragis yang di akhir kehidupannya mengorbankan harapan-harapan dan kenikmatan hidup. Kristus bukan tak dapat berdosa, bagi Kazantzakis, ataupun Allah yang tiada berasa. Yesus adalah manusia yang penuh hasrat dan emosi, yang telah diberi satu misi, dengan maksud utama supaya ia harus berjuang untuk terus memahaminya. Ia harus berhadapan dengan kesadaran dan perasaannya sendiri, dan mengorbankan kehidupannya demi mencapai kepenuhannya. Ia tetap dapat ragu-ragu untuk mengambil keputusan, takut dan bahkan memiliki rasa bersalah. Akhirnya, ia adalah Anak Manusia, seseorang yang pergulatan batinnya mewakili seluruh umat manusia.

Banyak kaum konservatif Yunani mengutuk karya Kazantzakis. Namun ia menjawab dengan kalimat yang menarik, “You gave me a curse, Holy Fathers, I give you a blessing; may your conscience be as clear as mine and may you be as moral and as religious as I” sebelum Gereja Ortodoks Yunani mengucilkannya pada tahun 1955.

Di mata Gereja Katolik Roma, novel The Last Temptation termasuk buku yang terlarang! Kazantzakis bereaksi dengan mengirim sebuah telegram kepada Takhta Suci di Vatikan dengan mengutip bapa gereja St. Tertulianus, “Ad tuum, Domine, tribunal appello.” (Ind: “Aku letakkan permohonanku di panggung-Mu, Tuhan”; Yunani: “Sto dikastērio sou askō ephesē, ō Kuriē.”)

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (3)

Film

Pada pembukannya, film ini menyatakan bahwa sumbernya tidak berdasarkan Injil-injil, tetapi sebuah novel dari Nikos Kazantzakis. Film ini dimulai dari sebuah novel. Novel The Last Temptation of Christ ditulis dalam bahasa Yunani pada tahun 1955 dengan judul O Teleutaios Peirasmos. Terjemahan Inggris terbit pada tahun 1960. Novel ini bukan biografi Yesus ataupun studi biblika atas kehidupan manusia dari Nazaret itu. Kazantzakis mengaku bahwa buku ini merupakan “pengakuan setiap manusia yang bergumul.” Dalam sebuah surat kepada seorang kawan, ia menulis, “Sejumlah orang terkejut bahwa Kristus memiliki pencobaan. Tetapi pada saat saya menuliskan buku ini, saya merasakan apa yang Kristus rasakan . . . dan saya tahu pasti bahwa pencobaan-pencobaan besar, yang sangat menggairahkan dan sahih, datang untuk menghalang-halanginya untuk menuju ke Golgota.” Di dalamnya, Yesus digambarkan sebagai seseorang yang bergulat dengan kemanusiaannya. Ia menghadapi pelbagai pencobaan, yang berujung untuk menghambat perannya sebagai Mesias.

Jika kita menyimak kehidupan Kazantzakis, maka kita tahu bahwa ia sendiri merupakan seorang pengembara hidup rohani yang tak kenal lelah. Ia ingin memahami kedalaman rahasia pengalaman religius. Kehidupannya sendiri digambarkan sebagai suatu perang tanding tiada habis dan tiada ampun antara roh dan kedagingan.” Ia mengidentifikasikan dirinya secara pribadi dengan suatu dilema kemanusiaan. Kristus adalah modelnya, “pergulatan antara daging dan roh, pemberontakan dan halangan, perdamaian dan kepatuhan dan akhirnya—tujuan tertinggi pergulatan itu—persatuan dengan Allah.”

Di tangan Martin Scorsese, novel ini diangkat menjadi sebuah film. Dinominasikan sebagai peraih 6 Oscar (Academy Award), film ini menggondol 1 Oscar untuk kategori sutradara terbaik. Memang layak bagi Scorsese. Ia adalah sutradara yang mumpuni. Di setiap filmnya, motif-motif religiositas selalu ada, seperti: pengampunan, penderitaan, penebusan, pengurbanan. Coba perhatikan film-film lainnya seperti Mean Street, Taxi Driver, Raging Bull, After Hours, The Color of Money dan yang cukup terkini Gangs of New York. Ia telah menyimpan hasrat untuk menggarap novel Kazantzakis selama 15 tahun, dan ia percaya hasilnya adalah “suatu peneguhan iman dan pengharapan” oleh karena dikerjakan dengan “keyakinan dan cinta-kasih.”

Yesus yang tampil di film ini digambarkan oleh Scorsese “dapat memahami problem-problem manusia; ia mengalami keterhilangan, hasrat, serta perasaan dan kelemahan manusia lainnya. Itulah sebabnya kita dapat mengenali pergumulannya dan mungkin mulai menghubungkannya dengan pergumulan kita.” Yesus ini bukan gambaran yang seperti tampil dalam kajian Yesus Sejarah atau penggalian alkitabiah mengenai si tukang kayu dari Nazaret. Potret Yesus di film ini kebanyakan fiktif, hanya saja meminjam banyak karakter dalam Injil. Imajinasi sang pembuat film berperan besar dalam pencitraan tokoh Yesus. Cerita yang tampil di dalamnya adalah gambaran Yesus yang lain. Yesus yang lain. Yesus yang mencoba banyak jalan kepada Allah: penyangkalan diri, meditasi, kepasrahan pada pembimbing rohani, perkumpulan yang ia bentuk, pengajaran, tindakan, nubuat dan akhirnya sengsara dan pengurbanannya. Pergumulannya sama seperti orang-orang kebanyakan yang sedang mencoba-coba laku religius.

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (2)

Sinopsis

Yesus adalah seorang tukang kayu dari Nazaret, yang selalu diganggu oleh suara batin dan selalu bimbang apakah Ia sedang mendengarkan warta dari Allah, Iblis atau kesombongan dirinya sendiri. Ia telah mencoba untuk menggapai Allah dengan berpuasa dan mati-raga. Sekarang ia berjuang untuk menerima tuntutan terhadap dirinya, ia memberontak untuk sejangka waktu dengan bekerja sama dengan orang-orang Roma, yaitu membuat salib untuk eksekusi para penyamun.

Dua orang yang terdekat dengan Yesus tidak memahami pergumulannya dengan Allah. Yudas, seorang anggota Zelot Yahudi yang percaya bahwa kekuatan Roma harus dijungkirbalikkan dengan kekerasan, menuntut Yesus sebagai seorang pengecut. Maria Magdalena, seorang pelacur yang telah mencintai Yesus sejak masa kanak-kanak mereka, marah karena Yesus telah menolaknya.

Mencari rencana Allah baginya, Yesus mengundurkan diri ke suatu pertapaan di padang gurun. Di sana ia berjumpa muka dengan muka, dengan ketakutan dan hasrat-hasratnya. Seorang pertapa muda, Yerobeam, menangkap hubungan khusus antara si orang asing itu dengan Allah dan memaksa dia untuk berbagi hati dengan dunia. Yudas, yang telah diperintahkan kaum Zelot untuk membunuh Yesus, menemukan peluang untuk melakukannya, tetapi membuang pisaunya ketika ia menyadari bahwa mungkin saja temannya ini (Yesus) adalah benar-benar utusan Allah.

Setelah menolong Maria Magdalena dari kerumunan massa yang hendak merajamnya dengan batu, Yesus berkhotbah untuk pertama kalinya. Tetapi beritanya mengenai cinta-kasih tidak digagas oleh sebagian besar yang hadir. Hanya sedikit orang, termasuk Petrus, Yohanes dan Andreas, yang berkeputusan untuk mengikutinya.

Yesus berusaha untuk memahami perannya dan berita yang akan dibagikannya. Setelah melalui sebuah diskusi panas dengan Yudas mengenai misi mereka, Yesus memutuskan untuk berbicara kepada sang nabi di belantara. Yohanes Pembaptis membaptiskannya dan kemudian menasihatinya bahwa cinta tidaklah cukup; ia harus mengambil kapak dan membabat habis kejahatan.

Yesus pergi kembali ke padang gurun. Ia bersumpah tak akan beranjak hingga Allah berbicara secara langsung kepadanya. Di sana ia dicobai oleh seekor ular yang menawarkan kepadanya pendamping hidup, oleh seekor singa yang menjanjikan kuasa duniawi, dan oleh satu penghulu malaikat dalam bentuk nyala api yang memberi tahu Yesus bahwa Ia adalah Allah dan menyarankan untuk memerintah berdampingan. Mengenali bahwa itu adalah Iblis, Yesus menghardiknya.

Ia meninggalkan gurun, berhenti di rumah Maria dan Marta. Di sana ia tahu bahwa Yohanes Pembaptis telah wafat. Kembali bersama dengan murid-muridnya, ia mengundang mereka untuk berkumpul dengannya dalam sebuah perang melawan Iblis. Dalam suatu tindakan di tengah angin puting beliung, Yesus mengusiri setan-setan, menyembuhkan orang sakit, memberitakan kepada dunia bahwa Allah telah hadir. Ia membangkitkan saudara Maria dan Marta, Lazarus dari antara orang mati. Ia berkhotbah dan ditolak di kotanya sendiri, Nazaret. Di Yerusalem, ia melawan para pedagang dan para penukar uang di dalam Bait Allah.

Yesus lalu meyakinkan Yudas bahwa ia telah melihat suatu nubuat dari Yesaya dan mengetahui apa yang ia harus perbuat. Ia harus pergi ke Yerusalem dan mati dengan suka rela di atas salib. Bersama murid-muridnya, Yesus kembali ke Bait Allah. Massa sudah menunggu kedatangannya untuk menyerang Roma, namun Yesus menolak memberikan tanda-tanda penyerangan itu. Di lain waktu, ia memberi tahu Yudas untuk menyerahkannya kepada para penguasa.

Pada perjamuan Paskah, Yesus membagikan semangat dan visinya kepada para pengikutnya, tatkala mereka makan roti dan minum anggur bersama. Malam itu di Taman Getsemani, ia meminta Allah untuk melepaskannya dari misinya, lalu ia berdoa memohon kekuatan. Ditangkap oleh orang-orang Roma, Yesus ditanyai oleh Pontius Pilatus, disesah, dan dibawa ke Golgota. Di sana ia disalibkan.

Pencobaan terakhir Kristus datang sebagai suatu penglihatan ketika Yesus tengah sekarat di kayu salib. Sesosok “malaikat penjaga” muncul dalam seorang anak perempuan. Ia memberi tahu Yesus bahwa ia telah cukup menderita; ia tidak harus mati. Sebaliknya, ia dapat hidup sebagai seorang lelaki yang normal, menikahi Maria Magdalena, menjadi ayah bagi anak-anak, dan menjadi tua dan hidup bahagia dengan keluarganya. Setelah Maria Magdalena meninggal, ia menikahi Maria dan Marta. Iblis, yang menjelma dalam diri “malaikat penjaga” ini, membujuknya dan memperbesar keraguannya untuk bertolak dari satu perempuan ke perempuan lainnya.

Mendekati ajalnya, Yesus berjumpa dengan Paulus. Ia menjadi sadar betapa banyaknya umat manusia yang membutuhkan Mesias yang tersalib dan yang bangkit. Ia dijenguk oleh Petrus, Natanael dan Yohanes, yang memberitahukan bahwa Bait Allah telah dihancurleburkan dan Tabut Perjanjian telah dicuri. Yudas muncul dan memperingatkan mereka bahwa Yesus seharusnya yang menjadi “Perjanjian Baru.” Namun sebaliknya, Yesus telah mengkhianati misinya untuk mati sebagai seorang laki-laki sejati.

Setelah menyadari panggilannya yang sejati, Yesus beranjak dari ranjang ajalnya. Mengumpulkan segenap kekuatan dan keyakinannya, ia berdoa untuk meminta Allah memberinya kesempatan untuk menggenapkan rencana-Nya. Yesus menaklukkan pencobaannya yang terakhir dan terjaga! Ia tergantung meregang nyawa di atas kayu salib. Ia berseru, “Sudah selesai.” Ia menang!

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (1)

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR



Penulis Novel

Nikos Kazantzakis adalah seorang jurnalis, penulis novel dan teater, juga seorang filsuf, salah satu yang ternama di kalangan filsuf abad ke-20. Murid Friedrich Nietzsche, Henri Bergson dan Buddha; pengagum Kristus dan Lenin, dipuji-puji oleh Thomas Mann, Albert Schweitzer dan Albert Camus, karya-karyanya menampilkan sebuah jeritan hati yang mencari jawaban hakiki mengenai keberadaan.

Dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1883 di Heraklion, di Pulau Kreta, ia menutup usianya di Freiburg, Jerman pada tanggal 26 Oktober 1957. Pada waktu ia dilahirkan, Kreta merupakan wilayah kekuasaan Dinasti Otoman dari Turki. Pulau ini berkali-kali berupaya untuk lepas dari Turki dan bergabung dengan Yunani.

Kazantzakis memulai studi hukumnya di Universitas Atena, dan melanjutkan di Paris pada tahun 1907 untuk bidang filsafat, di bawah bimbingan Henri Bergson. Sekembalinya ke Yunani, ia mulai menerjemahkan karya-karya filosofi. Pada tahun 1914 ia berjumpa dengan seorang penulis yang kemudian menjadi sahabatnya, Angelos Sikelianos. Bersama-sama mereka berkelana selama dua tahun di tempat-tempat di mana kebudayaan Kekristenan Ortodoks Yunani berkembang pesat. Hal ini dimotivasi oleh jiwa nasionalisme Sikelianos juga.

Ia menikah dengan Galatea Alexiou pada tahun 1911. Mereka bercerai pada tahun 1926. Kemudian ia menikah lagi dengan Eleni Samiou pada tahun 1945. Antara tahun 1922 sampai kematiannya pada tahun 1957, ia berpesiar ke Paris dan Berlin (dari tahun 1922 s.d. 1924), Italia, Rusia (1925), Spanyol (1932), dan kemudian ke Siprus, Aegina, Mesir, Gunung Sinai, Chekoslowakia, Nike (dan di sana ia membeli satu villa di dekat Antibes, di bagian Kota Tua yang berbatasan dengan pantai yang indah), China dan Jepang.

Ketika di Berlin, di mana situasi politik sangat berkecamuk, Kazantzakis berkenalan dengan komunisme dan menjadi pengagum Lenin. Ia tidak pernah benar-benar menjadi seorang komunis yang konsisten, tetapi ia sempat mengunjungi Uni Soviet dan tinggal dengan politisi dan penulis dari Oposisi Kiri, Victor Serge. Ia menyaksikan penobatan Joseph Stalin, namun kemudian surutlah kekagumannya kepada komunisme gaya Soviet. Di sekitar tahun ini, rasa nasionalismenya telah digantikan dengan suatu ideologi yang lebih universal.

Pada tahun 1945, ia menjadi seorang pimpinan partai kecil berhaluan kiri nonkomunis. Ia sempat masuk ke pemerintahan Yunani sebagai menteri, namun tanpa pengesahan yang jelas. Setahun kemudian, ia mengundurkan diri.

Pada tahun 1946, Perserikatan Penulis Yunani merekomendasikan Kazantzakis dan Angelos Sikelianos dihadiahi Nobel Kesusastraan. Pada tahun 1957, kesempatannya direbut oleh Albert Camus hanya dengan selisih 1 suara. Camus di kemudian hari mengatakan bahwa Kazantzakis layak menerima anugerah itu “seratu kali lipat” daripada dirinya sendiri. Ada indikasi, sosok Kazantzakis cukup terpandang di antara para filsuf eksistensialis.

Pada akhir tahun 1957, meski menderita leukimia stadium lanjut, ia tetap melakukan perjalanan ke China dan Jepang. Ia jatuh sakit pada penerbangan menuju kembali ke tanah airnya. Ia berbelok ke Freiburg dan di sana meninggal dunia. Ia dikuburkan di tembok yang mengitari kota Heraklion, sebab Gereja Ortodoks melarang jasadnya dimakamkan di sebuah pekuburan umum. Kalimat yang tertulis di batu nisannya adalah: Den elpizō tipota. De phobumai tipota. Eimai leuteros. Yang artinya, “Aku tidak berharap apa-apa. Aku tidak takut terhadap apa-apa. Aku bebas.”

Di sepanjang kehidupannya, ia banyak menulis novel dan naskah teater. Karya pertamanya yang muncul di muka umum adalah Serpent and Lily (Yunani: Ophis kai Krino), di mana ia memakai nama samaran Karma Nirvami. Bagi Kazantzakis, karya paling pentingnya adalah sajak yang pajangnya 33.333 bait yang berjudul The Odyssey: A Modern Sequel. Karya ini mulai dibuat pada tahun 1924 dan terus mengalami perbaikan sebanyak tujuh kali sebelum diterbitkan pada tahun 1938.

Menarik untuk diamati, sejak mudanya, Kazantzakis tak pernah berhenti melakukan pengembaraan spiritual. Dibayang-bayangi oleh problematika metafisik dan eksistensial, ia berusaha mencari pelepasan dengan pengetahuan, dengan berpesiar, berkontak dengan begitu banyak orang, dan banyak lagi pengalaman spiritual. Sangat nyata pengaruh Friedrich Nietzsche pada tiap-tiap karyanya. Pengaruh yang paling besar adalah karya-karya ateisme Nietzsche dan konsep mengenai super-insan (Übermensch). Dalam pada itu, problematika religius pun terus menghantuinya. Untuk mencapai kesatuan dengan Allah, Kazantzakis masuk ke dalam sebuah biara untuk tinggal di sana selama enam bulan.

Pergulatan eksistensialnya seperti dinampakkan dalam buku The Saviors of God (1927; Inggris 1960):

Kita telah melihat lingkaran tertinggi kekuatan-kekuatan yang berspiral. Kita telah menamai lingkaran ini Allah. Kita pun dapat menamainya yang lain seturut keinginan kita: Samudra, Misteri, Kegelapan Absolut, Terang Absolut, Materia, Roh, Pengharapan Asasi, Keputusasaan Asasi, Keheningan.

Kita datang dari satu samudra gelap, kita mengakhirinya dalam satu samudra gelap, dan kita sebut sesuatu yang terang itu kehidupan di antaranya (interval life).

Wednesday, October 8, 2008

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (6)

BAGAIMANA DENGAN KITA?

Gereja sebagai umat Allah yang sejati, murid Kristus, dan ciptaan baru, secara ontologis sudah merupakan politik. Jika Kristus menyebut kita sebagai antisipator, atau prolepsis, dari Kerajaan Allah, maka sebenarnya kehadiran Gereja menggentarkan kuasa politik! Namun, bagaimana kenyataannya? 

Kita berpolitik, tetapi kebanyakan memperjuangkan kepentingan sendiri. Gereja telah menjadi sangat reaktif bila kepentingannya terganggu. Gereja berkumpul dan menyatakan protes kepada pemerintah ketika ada gereja yang dibakar. Gereja diam saja ketika ketidakadilan menimpa orang lain yang bukan Kristen!  

Masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang dilakukan oleh sebuah organisasi persekutuan gereja di Indonesia, ketika Mbak Tutut, sang putri penguasa Orde Baru, yang mengampu Menteri Sosial, mengumumkan agar rakyat menyumbangkan emas di tengah krisis moneter Indonesia, maka Ketumnya yang njawani itu pun tergopoh-gopoh sowan kepada Mbak Tutut; bahkan melakukan imbauan di stasiun televisi.

Tak kurang memalukan pula kiprah gereja, ketika belum lama berselang, seorang pemimpin gereja di ibu kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kristen Fundamental(is), meraih dua doktor di bidang pendidikan agama dan teologi dari Amerika Serikat, mendukung pencalonan seorang calon presiden wanita, yang pernah menjabat sebagai presiden, dengan tujuan supaya sang ibu memberikan keadilan kepada orang Kristen dan terutama golongan non-pribumi.

Banyak orang-orang muda Kristen, dan khususnya dari warga keturunan, yang mempunyai cita-cita tinggi, brilian, dan mempunyai cukup dana untuk menempuh studi di luar negeri kemudian enggan balik ke Indonesia. Mengapa? Tidak ada tempat, kurang fasilitas, tidak impas dengan tenaga, usaha dan dana yang dikeluarkan. Betapa kita perlu bercermin dengan arif dan merenung dengan malu, orang yang sangat terbukti cinta negeri yang porak poranda adalah Kwik Kian Gie, yang adalah seorang Buddhis.

Perjuangan Kekristenan—termasuk yang Injili, dan kata “injili” di Indonesia kian menyempit menjadi kelompok gereja Kristen dari latar belakang warga keturunan!—masih sangat parsial, fragmentaris, dan primordialis! Saya yakin hal ini bukan mempermuliakan Kristus yang tersalib dan yang bangkit sebagai buah sulung ciptaan baru, tetapi mempermalukan-Nya. Orang Kristen masih dicetak oleh pola dan patron dunia.

Mungkin inilah sebabnya, orang Kristen cenderung anti untuk menghayati Kristus sebagai seorang tokoh yang berpolitik, dan lebih nyaman untuk mengatakan bahwa Ia hanya memperjuangkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi kaum-Nya, sebab sesungguhnya orang Kristen enggan untuk menanggung konsekuensi sebagai orang-orang yang mengikut Dia. Jika Kristus adalah tokoh politik, mau tidak mau, gereja harus berpolitik, sebab gereja sebagai pengikut-Nya adalah sebuah entitas politis: politik shalom, politik Kerajaan Allah, politik konfrontatif dengan kebijakan pemerintah, politik NO! kepada kuasa dunia. Pertanyaan untuk gereja adalah: Siapa yang kita ikuti, dan siapa yang lebih kita takuti? Hanya ada dua pilihan: Kristus atau Kaisar!

TERPUJILAH ALLAH! 


Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (5)

KEBENARAN DI HADAPAN PENGUASA POLITIK

Sampailah kita ke pertanyaan, apakah Yesus berpolitik? Ya, dalam keseluruhan hidup-Nya, Ia berpolitik. Ajaran-Nya pun merupakan politik. Ia mengajarkan Kerajaan Allah hadir. Ia mengejawantahkan Kerajaan Allah. Ia mewartakan shalom. Ia sendiri adalah shalom itu. Ia tengah berkontradiksi dengan para penguasa, tutur kata dan tindakan simbolis-Nya membuat para penguasa kalang kabut. Bayangkan reaksi para penguasa ketika mendengar berita yang dikatakan oleh Yesus dari Nazaret ini!

Politik apakah yang Tuhan Yesus jalankan? Politik yang bertolak belakang dengan Kaisar, sebagai kuasa absolutis. Ingatkah Anda, mengapa Pilatus bertanya, “Apa itu kebenaran?” Sebab baginya, Kaisar adalah kebenaran yang absolut. Worldview Pilatus sebagai warga Roma adalah bahwa hanya Kaisarlah yang boleh mengatakan kebenaran.  

Ingatkah Anda ketika Yesus berkata kepada khalayak pendengar, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”? Hal ini bukan secara simplistis berarti boleh-boleh saja membayar pajak sebagai rasa hormat kepada pemerintah. Pada zaman Yesus, pemberontakan melawan pajak bukan hal yang aneh dan unik. Sejak Yesus masih kanak-kanak, Ia pasti telah mengetahui begitu banyaknya pemberontakan, dan di kemudian hari para pelakunya dibabat habis oleh kebrutalan orang-orang Roma! Tetapi hal yang paling mendasar bagi orang-orang pada zaman itu adalah, bila orang berkata, “Ya, bayarlah pajak kepada Roma!” maka di balik perkataan itu tersirat pemikiran, “Aku tidak serius menanggapi kedatangan Kerajaan Allah!”

Tidakkah Anda mencermati, Yesus meminta orang yang mencobai-Nya mengeluarkan koin mata uang yang dipakai untuk membayar pajak? Kabarnya mereka membenci kaisar, tetapi toh kenyataannya mereka menyimpan gambar kaisar yang tertera di dalam koin tersebut, dengan inskripsi (tulisan) yang memuat gelar pemujaan yang memberhalakan kaisar. Maka apa yang hendak dikatakan oleh Yesus adalah, “Lebih baik engkau kembalikan koinnya kaisar kepada kaisar, dan persembahkanlah kepada Allah kembali koinnya Allah!” Jadi Yesus hendak mengatakan, pajak harus dibayarkan, tetapi dengan kebencian kepada kuasa kaisar dan bukan dengan rasa hormat kepadanya; dan di balik itu ada keyakinan bahwa rezim Kaisar merupakan pemberhalaan omong kosong di hadapan Allah, dan pada suatu hari kelak, Allah sendiri akan menjungkirbalikkanya.

Politik Yesus adalah politik tanpa kompromi. Perkataan Yesus harus kita sadari implikasinya, bahwa Allah itu berkuasa atas segenap segi kehidupan, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan ambiguitas kehidupan, salah satunya membayar pajak kepada kaisar. Ya benar, Yesus berkata bahwa orang harus membayar pajak kepada orang-orang kafir, seperti halnya orang Yahudi yang berdoa kepada Allah untuk kesejahteraan kota di mana mereka dibuang oleh Allah; tetapi melampaui ambiguitas kehidupan itu, hendaklah setiap orang meyakini bahwa Allah hadir di dalamnya, memanggil umat-Nya untuk berdiri dan patuh kepada sesuatu yang jauh melampaui kuasa kafir yang absolut, yang sedang berjaya. Umat Allah yang sejati beroposisi secara diametris dari kuasa itu.

Mungkin Anda akan segera bertanya dalam hati, bagaimana dengan Roma 13:1, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya . . . .” Apalagi diterangkan lebih lanjut, bahwa siapa yang melawan pemerintah melawan ketetapan Allah. Apakah rasul mengajarkan kita untuk selalu sendika dhawuh kepada pemerintah? Marilah kita selidiki ayat ini dengan cermat. Kata yang dipakai untuk “takluk” adalah hupotassesthai. Kata ini berbeda arti dengan “menaati” atau “patuh” (biasanya dipakai kata peitharchein, peithesthai dan hupakouein. Dalam PB, kata hupotassesthai muncul 31 kali. Sesekali, kata ini menunjuk kepada kepatuhan (Rm. 8.7), tetapi dalam kasus umum, arti ini tidak popular.

Maka, apa artinya ketika kata ini dipakai di sini, dan orang Kristen harus takluk kepada pemerintah? Yaitu bahwa seseorang ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintah itu oleh Allah. Maka, bukan berarti seseorang tidak boleh kritis, lalu berlaku taat membabi buta kepada setiap keputusan, kebijakan dan politik pemerintah. Mengapa demikian? Sebab bagi orang Kristen, yang menentukan hupotassesthai dalam segala situasi bukanlah pemerintah dan kuasa sipil, tetapi Kristus.

Pertanyaannya ialah, mengapa orang Kristen mengambil posisi seperti ini? Worldview yang harus diingat oleh orang Kristen adalah bahwa kita telah mati dan bangkit bersama dengan Kristus, hidup oleh kuasa Roh, dan pengharapan kita adalah masa depan yang diperintah oleh Allah (Rm. 6-8). Oleh sebab itu, tidak ada satu kuasa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristyus, termasuk pemerintah dan kuasa-kuasa (Rm. 8.38-39). Setiap orang Kristen dibentuk oleh masa depan, bukan oleh masa lalu!

Keberadaan pemerintah, selalim apa pun, merupakan cerminan dari kehendak Allah untuk mengadakan keadilan dan tatanan, hingga tatanan yang baru yang dipimpin oleh Kristus Yesus merekah dengan sempurna. Betapa pun jahat dan lalimnya sebuah pemerintahan, dan mereka tidak mengenal Allah dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan menurut ukuran sendiri, namun tanpa pemerintah, orang akan bertindak sesuka hati, seenak hasratnya sendiri, dan orang yang lemah dan tak berdaya akan bertambah sengsara. Allah tidak menghendaki hal ini.  

Namun para rasul sendiri menyadari bahwa bila pemerintah melawan Allah, maka mereka berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5.29). Prinsip ini mengajar kita, sekalipun orang Kristen menolak untuk patuh, mereka tetap takluk di bawah kuasa pemerintah. Mereka tidak melakukan pemberontakan. Mereka tidak mengangkat senjata untuk menjungkirbalikkan kuasa pemerintahan. Tetapi bilamana pemerintah memutuskan hal-hal yang bertolak belakang dengan kehendak Allah, mereka pasti menolak, dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut.

Jadi, Roma 13 bukan merupakan carte blanche yang membenarkan para penguasa untuk melakukan apa pun yang mereka sukai. Mereka bukan ditempatkan di atas angin. Keberadaan mereka berada di bawah kuasa Kristus, sebab “Injil” Kristus Yesus melampaui “injil” para kaisar; dan setiap pemerintah bertanggung jawab kepada Sang Penguasa yang berada di atasnya. Bacalah teks ini baik-baik sekali lagi, dan seluruh Roma, maka Anda akan tahu bagaimana kita harus bertindak dalam percaturan politik!

Demikian pun bila kita perhatikan 1 Petrus 2.13, “Tundukklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi.” Di 2.17 ada empat perintah: hormati semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah dan hormatilah raja! Dapatkah kita simpulkan bahwa kita harus selalu menghormati raja karena raja selalu benar? Camkan selalu perkataan rasul di 2.9, bahwa orang Kristen adalah kerajaan para imam, artinya imam-imam yang melayani Sang Raja. Mereka patuh kepada Sang Raja, bukan kepada yang lain. Namun konteks selanjutnya (1.18-25) bagaimana orang Kristen harus bertindak bukan pada masa yang nyaman, aman tenteram, damai dan adil, tetapi pada waktu ketidakadilan itu muncul dan merajalela. Kepatuhan itu dinampakkan oleh orang Kristen, hanya kepada Kristus sehingga mereka pun rela menderita, bukan kepada pemerintah. Say No! to caesar, and Yes! to Christ.