Wednesday, October 8, 2008

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (6)

BAGAIMANA DENGAN KITA?

Gereja sebagai umat Allah yang sejati, murid Kristus, dan ciptaan baru, secara ontologis sudah merupakan politik. Jika Kristus menyebut kita sebagai antisipator, atau prolepsis, dari Kerajaan Allah, maka sebenarnya kehadiran Gereja menggentarkan kuasa politik! Namun, bagaimana kenyataannya? 

Kita berpolitik, tetapi kebanyakan memperjuangkan kepentingan sendiri. Gereja telah menjadi sangat reaktif bila kepentingannya terganggu. Gereja berkumpul dan menyatakan protes kepada pemerintah ketika ada gereja yang dibakar. Gereja diam saja ketika ketidakadilan menimpa orang lain yang bukan Kristen!  

Masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang dilakukan oleh sebuah organisasi persekutuan gereja di Indonesia, ketika Mbak Tutut, sang putri penguasa Orde Baru, yang mengampu Menteri Sosial, mengumumkan agar rakyat menyumbangkan emas di tengah krisis moneter Indonesia, maka Ketumnya yang njawani itu pun tergopoh-gopoh sowan kepada Mbak Tutut; bahkan melakukan imbauan di stasiun televisi.

Tak kurang memalukan pula kiprah gereja, ketika belum lama berselang, seorang pemimpin gereja di ibu kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kristen Fundamental(is), meraih dua doktor di bidang pendidikan agama dan teologi dari Amerika Serikat, mendukung pencalonan seorang calon presiden wanita, yang pernah menjabat sebagai presiden, dengan tujuan supaya sang ibu memberikan keadilan kepada orang Kristen dan terutama golongan non-pribumi.

Banyak orang-orang muda Kristen, dan khususnya dari warga keturunan, yang mempunyai cita-cita tinggi, brilian, dan mempunyai cukup dana untuk menempuh studi di luar negeri kemudian enggan balik ke Indonesia. Mengapa? Tidak ada tempat, kurang fasilitas, tidak impas dengan tenaga, usaha dan dana yang dikeluarkan. Betapa kita perlu bercermin dengan arif dan merenung dengan malu, orang yang sangat terbukti cinta negeri yang porak poranda adalah Kwik Kian Gie, yang adalah seorang Buddhis.

Perjuangan Kekristenan—termasuk yang Injili, dan kata “injili” di Indonesia kian menyempit menjadi kelompok gereja Kristen dari latar belakang warga keturunan!—masih sangat parsial, fragmentaris, dan primordialis! Saya yakin hal ini bukan mempermuliakan Kristus yang tersalib dan yang bangkit sebagai buah sulung ciptaan baru, tetapi mempermalukan-Nya. Orang Kristen masih dicetak oleh pola dan patron dunia.

Mungkin inilah sebabnya, orang Kristen cenderung anti untuk menghayati Kristus sebagai seorang tokoh yang berpolitik, dan lebih nyaman untuk mengatakan bahwa Ia hanya memperjuangkan keselamatan dan kehidupan kekal bagi kaum-Nya, sebab sesungguhnya orang Kristen enggan untuk menanggung konsekuensi sebagai orang-orang yang mengikut Dia. Jika Kristus adalah tokoh politik, mau tidak mau, gereja harus berpolitik, sebab gereja sebagai pengikut-Nya adalah sebuah entitas politis: politik shalom, politik Kerajaan Allah, politik konfrontatif dengan kebijakan pemerintah, politik NO! kepada kuasa dunia. Pertanyaan untuk gereja adalah: Siapa yang kita ikuti, dan siapa yang lebih kita takuti? Hanya ada dua pilihan: Kristus atau Kaisar!

TERPUJILAH ALLAH! 


Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (5)

KEBENARAN DI HADAPAN PENGUASA POLITIK

Sampailah kita ke pertanyaan, apakah Yesus berpolitik? Ya, dalam keseluruhan hidup-Nya, Ia berpolitik. Ajaran-Nya pun merupakan politik. Ia mengajarkan Kerajaan Allah hadir. Ia mengejawantahkan Kerajaan Allah. Ia mewartakan shalom. Ia sendiri adalah shalom itu. Ia tengah berkontradiksi dengan para penguasa, tutur kata dan tindakan simbolis-Nya membuat para penguasa kalang kabut. Bayangkan reaksi para penguasa ketika mendengar berita yang dikatakan oleh Yesus dari Nazaret ini!

Politik apakah yang Tuhan Yesus jalankan? Politik yang bertolak belakang dengan Kaisar, sebagai kuasa absolutis. Ingatkah Anda, mengapa Pilatus bertanya, “Apa itu kebenaran?” Sebab baginya, Kaisar adalah kebenaran yang absolut. Worldview Pilatus sebagai warga Roma adalah bahwa hanya Kaisarlah yang boleh mengatakan kebenaran.  

Ingatkah Anda ketika Yesus berkata kepada khalayak pendengar, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”? Hal ini bukan secara simplistis berarti boleh-boleh saja membayar pajak sebagai rasa hormat kepada pemerintah. Pada zaman Yesus, pemberontakan melawan pajak bukan hal yang aneh dan unik. Sejak Yesus masih kanak-kanak, Ia pasti telah mengetahui begitu banyaknya pemberontakan, dan di kemudian hari para pelakunya dibabat habis oleh kebrutalan orang-orang Roma! Tetapi hal yang paling mendasar bagi orang-orang pada zaman itu adalah, bila orang berkata, “Ya, bayarlah pajak kepada Roma!” maka di balik perkataan itu tersirat pemikiran, “Aku tidak serius menanggapi kedatangan Kerajaan Allah!”

Tidakkah Anda mencermati, Yesus meminta orang yang mencobai-Nya mengeluarkan koin mata uang yang dipakai untuk membayar pajak? Kabarnya mereka membenci kaisar, tetapi toh kenyataannya mereka menyimpan gambar kaisar yang tertera di dalam koin tersebut, dengan inskripsi (tulisan) yang memuat gelar pemujaan yang memberhalakan kaisar. Maka apa yang hendak dikatakan oleh Yesus adalah, “Lebih baik engkau kembalikan koinnya kaisar kepada kaisar, dan persembahkanlah kepada Allah kembali koinnya Allah!” Jadi Yesus hendak mengatakan, pajak harus dibayarkan, tetapi dengan kebencian kepada kuasa kaisar dan bukan dengan rasa hormat kepadanya; dan di balik itu ada keyakinan bahwa rezim Kaisar merupakan pemberhalaan omong kosong di hadapan Allah, dan pada suatu hari kelak, Allah sendiri akan menjungkirbalikkanya.

Politik Yesus adalah politik tanpa kompromi. Perkataan Yesus harus kita sadari implikasinya, bahwa Allah itu berkuasa atas segenap segi kehidupan, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan ambiguitas kehidupan, salah satunya membayar pajak kepada kaisar. Ya benar, Yesus berkata bahwa orang harus membayar pajak kepada orang-orang kafir, seperti halnya orang Yahudi yang berdoa kepada Allah untuk kesejahteraan kota di mana mereka dibuang oleh Allah; tetapi melampaui ambiguitas kehidupan itu, hendaklah setiap orang meyakini bahwa Allah hadir di dalamnya, memanggil umat-Nya untuk berdiri dan patuh kepada sesuatu yang jauh melampaui kuasa kafir yang absolut, yang sedang berjaya. Umat Allah yang sejati beroposisi secara diametris dari kuasa itu.

Mungkin Anda akan segera bertanya dalam hati, bagaimana dengan Roma 13:1, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya . . . .” Apalagi diterangkan lebih lanjut, bahwa siapa yang melawan pemerintah melawan ketetapan Allah. Apakah rasul mengajarkan kita untuk selalu sendika dhawuh kepada pemerintah? Marilah kita selidiki ayat ini dengan cermat. Kata yang dipakai untuk “takluk” adalah hupotassesthai. Kata ini berbeda arti dengan “menaati” atau “patuh” (biasanya dipakai kata peitharchein, peithesthai dan hupakouein. Dalam PB, kata hupotassesthai muncul 31 kali. Sesekali, kata ini menunjuk kepada kepatuhan (Rm. 8.7), tetapi dalam kasus umum, arti ini tidak popular.

Maka, apa artinya ketika kata ini dipakai di sini, dan orang Kristen harus takluk kepada pemerintah? Yaitu bahwa seseorang ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintah itu oleh Allah. Maka, bukan berarti seseorang tidak boleh kritis, lalu berlaku taat membabi buta kepada setiap keputusan, kebijakan dan politik pemerintah. Mengapa demikian? Sebab bagi orang Kristen, yang menentukan hupotassesthai dalam segala situasi bukanlah pemerintah dan kuasa sipil, tetapi Kristus.

Pertanyaannya ialah, mengapa orang Kristen mengambil posisi seperti ini? Worldview yang harus diingat oleh orang Kristen adalah bahwa kita telah mati dan bangkit bersama dengan Kristus, hidup oleh kuasa Roh, dan pengharapan kita adalah masa depan yang diperintah oleh Allah (Rm. 6-8). Oleh sebab itu, tidak ada satu kuasa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristyus, termasuk pemerintah dan kuasa-kuasa (Rm. 8.38-39). Setiap orang Kristen dibentuk oleh masa depan, bukan oleh masa lalu!

Keberadaan pemerintah, selalim apa pun, merupakan cerminan dari kehendak Allah untuk mengadakan keadilan dan tatanan, hingga tatanan yang baru yang dipimpin oleh Kristus Yesus merekah dengan sempurna. Betapa pun jahat dan lalimnya sebuah pemerintahan, dan mereka tidak mengenal Allah dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan menurut ukuran sendiri, namun tanpa pemerintah, orang akan bertindak sesuka hati, seenak hasratnya sendiri, dan orang yang lemah dan tak berdaya akan bertambah sengsara. Allah tidak menghendaki hal ini.  

Namun para rasul sendiri menyadari bahwa bila pemerintah melawan Allah, maka mereka berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5.29). Prinsip ini mengajar kita, sekalipun orang Kristen menolak untuk patuh, mereka tetap takluk di bawah kuasa pemerintah. Mereka tidak melakukan pemberontakan. Mereka tidak mengangkat senjata untuk menjungkirbalikkan kuasa pemerintahan. Tetapi bilamana pemerintah memutuskan hal-hal yang bertolak belakang dengan kehendak Allah, mereka pasti menolak, dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut.

Jadi, Roma 13 bukan merupakan carte blanche yang membenarkan para penguasa untuk melakukan apa pun yang mereka sukai. Mereka bukan ditempatkan di atas angin. Keberadaan mereka berada di bawah kuasa Kristus, sebab “Injil” Kristus Yesus melampaui “injil” para kaisar; dan setiap pemerintah bertanggung jawab kepada Sang Penguasa yang berada di atasnya. Bacalah teks ini baik-baik sekali lagi, dan seluruh Roma, maka Anda akan tahu bagaimana kita harus bertindak dalam percaturan politik!

Demikian pun bila kita perhatikan 1 Petrus 2.13, “Tundukklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi.” Di 2.17 ada empat perintah: hormati semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah dan hormatilah raja! Dapatkah kita simpulkan bahwa kita harus selalu menghormati raja karena raja selalu benar? Camkan selalu perkataan rasul di 2.9, bahwa orang Kristen adalah kerajaan para imam, artinya imam-imam yang melayani Sang Raja. Mereka patuh kepada Sang Raja, bukan kepada yang lain. Namun konteks selanjutnya (1.18-25) bagaimana orang Kristen harus bertindak bukan pada masa yang nyaman, aman tenteram, damai dan adil, tetapi pada waktu ketidakadilan itu muncul dan merajalela. Kepatuhan itu dinampakkan oleh orang Kristen, hanya kepada Kristus sehingga mereka pun rela menderita, bukan kepada pemerintah. Say No! to caesar, and Yes! to Christ.

Sunday, February 10, 2008

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (4)

AGENDA DALAM MANIFESTO NAZARET

Bagi Yesus dari Nazaret, credenda menjadi agenda! Visi tak mungkin berjalan tanpa misi, tetapi misi pun harus dipertajam dengan strategi! Berbeda dengan orang-orang sezaman-Nya, Yesus tidak memilih mengangkat senjata—seperti kaum Zelot. Yesus juga tidak menarik diri dari kehidupan sehari-hari, menyepi, talak brata dengan laku asketis—seperti kaum Esseni di Qumran.


Yesus memiliki agenda untuk dikerjakan. Sebagai seseorang yang diurapi—indikasi-Nya Yesus tahu panggilan-Nya sebagai seorang nabi, sama seperti Elia dan Elisa—Yesus digerakkan oleh berita PL. Berita Tahun Yobel menjadi bagian yang penting dalam karya-karya-Nya.


Di sepanjang Injil Lukas, Yesus tidak segan-segan merangkul “orang-orang berdosa,” yang dicampakkan oleh masyarakat, yakni mereka yang tidak lagi dianggap manusia oleh manusia. Yesus menyembuhkan orang sakit, menjamah orang yang cacat, dekat dengan kaum-kaum terbuang (pemungut cukai, wanita tuna susila dan pengemis). Yesus datang, mengangkat mereka, dan memanusiakan manusia. Meminjam dictum ordo Yesuit, agenda Yesus adalah Dei gloriam, vivens homo, “memuliakan Allah, mengangkat manusia.” Sangatlah keliru bila kita hanya memahami aspek kesembuhan itu sebagai mukjizat Yesus yang unik. Kesembuhan yang diterima oleh orang-orang yang cacat dan najis pada hakikatnya bertujuan untuk mengangkat mereka agar menjadi sama seperti para tetangga mereka. Seseorang yang terikat oleh perbudakan legalisme yang merendahkan martabat manusia, kini telah dilepaskan. Mereka yang dahulu bukan manusia, kini menjadi manusia.


Dengan singkat, kita dapat katakan, credenda yang menjadi agenda di tangan Yesus adalah: Ia bertindak secara simbolis bahwa Allah telah hadir di tengah-tengah umat-Nya! Orang-orang Yahudi memiliki simbol ketika mereka berbicara mengenai Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, Allah yang hidup, yang hadir di tengah-tengah umat-Nya untuk menolong dan menyelamatkan mereka.


Mereka percaya bahwa Hikmat Allah tinggal di antara umat-Nya, menunjukkan kepada mereka jalan yang sejati. Yesus bertindak dan mengajar seolah-olah Ia adalah Sang Hikmat, Sophia, atau Hokma, itu.


Mereka percaya bahwa Allah yang hidup itu hadir melalui Taurat yang Ia telah berikan. Ia mengumpulkan kaum pilihan-Nya dan mengajar seolah-olah Ia sendiri adalah Taurat yang sejati itu, bahkan Sang Pemberi Hukum Taurat sendiri, dan pokok yang menyatukan umat Allah.


Mereka percaya bahwa Allah yang hidup tinggal, secara khusus, di Bait Suci Yerusalem. Yesus berindak dan berbicara seolah-olah Ia dipanggil untuk melakukan dan menjadi apa yang menjadi fungsi Bait Suci pada masa lampau.


Berita yang dibawa oleh Yesus tak lain dan tak bukan berbicara mengenai diri-Nya sendiri. Ia adalah pokok pemberitaan dan pengajaran yang keluar dari mulut-Nya. Ia tidak sekadar mengajarkan serentetan aturan moral yang baru. Ia bukan tokoh penggerak massa dengan segudang ide pembaruan utopis. Ia menggemakan apa yang menjadi keyakinan orang-orang sezaman-Nya, tentang Allah yang hadir di tengah umat-Nya, tentang tatanan baru di bawah Allah yang disebut sebagai Kerajaan Allah! Di dalam diri seorang muda sederhana asal Nazaret yang memberitakan Kerajaan Allah, menyembuhkan orang-orang yang sakit, mengonfrontasi para penguasa, menderita di bawah tindihan sengsara dunia, dan bangkit kembali mengalahkan kematian, maka kita sebagai pengikut-Nya dengan berani mengatakan, “Itulah artinya menjadi Allah!”


Jika berita Yesus, serta tindakan-Nya, menyatakan bahwa Allah Israel telah hadir kembali di antara umat-Nya Israel, bahwa Israel telah dipulihkan, bukan untuk menjadi sebuah bangsa yang adijaya, tetapi umat yang patuh kepada Allah-Nya, maka hal ini pun menyiratkan satu kebenaran fondasional bahwa Allah itu Raja bagi kaum pilihan-Nya, dan konsekuensi lebih luas lagi yakni bahwa Allah pun menjadi Raja atas seluruh ciptaan. Jika Allah menjadi raja atas seisi dunia, maka kerajaan-kerajaan dunia yang absolutis pun secara otomatis gulung tikar. Inilah politik yang menjadi rahasia keempat Injil. Bahkan kita pun dapat mengatakan, inilah politik yang digaungkan di PB, dengan klimaksnya, “Kerajaan dunia ini telah menjadi Kerajaan Allah kita dan Kristus-Nya” (lih. Why. 11.15).


Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Yakni melalui Yesus dari Nazaret yang disalibkan dan yang dibangkitkan. Apabila Anda memiliki cukup waktu untuk menyelidiki Lukas, maka Injil ini dipenuhi dengan berita theologia crucis, teologi salib, bahwa pada setiap titik Yesus diidentikkan dengan orang-orang berdosa, sehingga dalam rancang bangun mega plan Allah yang dinyatakan secara penuh dengan kebangkitan Kristus, Ia dapat meretas jalan bagi Israel untuk menjadi satu keluarga besar yang mendunia! Ia yang dibangkitkan itu naik ke surga, bertakhta di sebelah kanan Allah, dan Ia akan kembali hadir untuk menyempurnakan pemerintahan Allah ini, dengan jalan memusnahkan semua musuh, termasuk dosa dan kematian!


Kerajaan Allah, dalam pikiran Yesus, sedang datang, dan orang-orang harus berdoa memohon kedataang kerajaan itu, di atas bumi seperti di dalam surga. Dan Ia sudah ada di atas bumi, dan membuatnya terjadi di depan mata tiap-tiap manusia. Ketika Herodes mendengarnya, ia kebakaran jenggot; sebab ia merasa Raja orang Yahudi. Tatkala imam besar mendengarnya, mereka tahu adanya kuasa tandingan yang akan mengoyakkan basis pertahanan politik mereka, Bait Suci. Tak dipungkiri, bila Kaisar pun mendengarnya, Ia akan bereaksi sama. Apa yang tidak pernah dapat dipahami oleh para penguasa, bahkan orang-orang terdekat dari Yesus juga sulit untuk memahami maksud Yesus, yaitu tantangan sejenis apa yang Yesus coba lakonkan: kerajaan yang seperti apa yang Ia sedang bangun, dan raja yang bagaimana yang Ia pikirkan mengejawantah di dalam diri-Nya.


Tantangan yang paling puncak, yang diterjang oleh Yesus adalah dengan menanggung kematian di atas salib. Salib adalah hukuman sah dari Kaisar kepada raja-raja tandingan yang memberontak. Namun di mata Allah, kematian Yesus di kayu salib mempunyai nilai yang berbeda. Kalvari dan Paskah adalah dua sisi mata uang. Dua tradisi Perjanjian Lama, apokaliptik dan hikmat, tertangkup menjadi satu: Dunia yang baru telah terlahir—inilah klaim kerajaan-kerajaan dunia—oleh sebab senjata utamanya, yakni kematian itu sendiri, telah dilucuti dan dihancurleburkan. Tidakkah kita menangkap ada aspek politis di balik kematian dan kebangkitan Yesus? Memang, aspek spiritual dan etis pun ada, tetapi injil yang sejati berbicara tentang hidup yang utuh.


Kematian Yesus adalah kematian politis. Kebangkitan Yesus pun sama. Politik yang bertentangan dengan politik dunia! Politik yang menaklukkan politik dunia dengan senjata yang biasa dipakai untuk mengalahkah pihak lawan. Yesus melancarkan politik-Nya dengan masuk ke jantung yang terdalam senjata musuh! Dengan masuk ke “sarang lawan,” Yesus tahu betul apa artinya kematian! Dengan jalan itulah, ia mampu menaklukkan maut dan sengatnya. Dan melalui kebangkitan-Nya, ciptaan baru merekah, sebuah tata ciptaan yang dipimpin dan diperintah oleh Allah!


Apa yang dapat kita simpulkan dari agenda Yesus? Pikirkan kata-kata M. Macchovec, seorang Marxis tentang Yesus,


Jesus’ ‘doctrine’ . . . set the world on fire not because of the obvious superiority of his theoretical programme, but rather because he himself was at one with the programme, because he himself was the attraction. They saw in him a man who already belonged to this coming Kingdom of God; they saw what it meant to be ‘full of grace,’ what it meant to be not only a preacher but himself the product of his preaching, a child of the future age to the marrow of his bones.

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (3)

CREDENDA DALAM MANIFESTO NAZARET

Namun, kapankah datangnya Kerajaan Shalom itu? Tujuh ratus tahun berlalu sudah. Yang ada hanya kesunyian. Bila kini Anda mengaminkan kata-kata cah ndesa dari Nazaret itu, yakinkah Anda bahwa dia adalah Mesias yang dijanjikan itu? Siapa Yesus? Musykil bagi-Nya untuk berjuang. Mustahil untuknya dapat mengumpulkan massa dan mempersenjatai mereka dengan peralatan perang yang lengkap.


Bagaimana mungkin Yesus dapat membebaskan para pengemis dan gelandangan? Tekanan pajak dari Roma sedemikian tinggi, belum lagi para “penyamun terselubung” tak kurang jahatnya! Para pemungut cukai! Bahkan, para klerus dan pemuka agama pun telah menyalahgunakan jabatannya untuk membuncitkan perut. Berlindung di balik jubah putih bersih dan hormat takzim khalayak, kesalehan para imam merupakan kamuflase kebusukan hati yang pernah dibongkar oleh Yesus seperti “kuburan berlabur putih”! Bait Suci pada waktu itu merupakan pusat sirkulasi uang yang paling tinggi, jauh di atas sirkulasi di Jakarta Stock Exchange! Ingatlah bahwa atas nama agama, keuntungan yang diraup bisa tak terbayangkan jumlahnya! Para imam adalah kaum konglomerat. Sekali lagi pertanyaannya, bagaimana mungkin Yesus dapat mengentaskan masalah ekonomi yang sepelik ini? Bagaimana mungkin Yesus dapat memproklamirkan kemerdekaan, pembebasan dan berita Tahun Rahmat Tuhan, atau “Tahun Yobel Agung” tersebut?


Yesus menjadikan kerygma itu sebagai credenda. Allah yang diberitakan dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang benar. Ia setia dengan perjanjian-Nya. Ia mendengar doa orang-orang yang dikasihi-Nya, yang siang malam dinaikkan dengan hati yang tulus dan murni di hadapan-Nya, supaya mereka dibebaskan dari perbudakan. Ia adalah Allah para janda dan yatim. Ia adalah Allah kaum yang terbuang, yang tersingkirkan dan menjadi sampah masyarakat. Ia adalah Allah yang memiliki preferential options for the poor. Isi hati-Nya tertuju kepada jeritan minta tolong. Kerahiman-Nya memeluk mereka yang tinggal dalam kegelapan dan menghangatkan mereka yang kesepian dan kedinginan. Bela rasa-Nya tinggal di tengah-tengah derita dan nestapa.


Lukas memakai kata Yunani aphesis untuk menerjemahkan deror, yang artinya adalah “lepas secara sah dari ikatan dinas, perkawinan, kewajiban, utang ataupun hukuman.” Menurut para ahli bahasa, kata ini dipakai untuk pengertian sekular, dan bukan dalam ranah agama atau religiositas, apalagi doktrinal. Dengan memberitakan aphesis ini, Yesus menyatakan bahwa utang umat sudah lunas dibayar. Mereka telah menanggung derita sebagai konsekuensi dosa, dan sekaranglah waktu untuk mereka menikmati pembebasan itu!


Allah yang hadir, yang diberitakan oleh Yesus adalah Allah yang merangkul orang-orang berdosa. Inilah politik shalom yang menjadi credenda Yesus dari Nazaret. Politik Yesus bukan politik yang mengangkat granat dan besi, metalieur apalagi bom molotov. Yesus tidak menjilat para penguasa, bahkan cenderung kontra. Herodes disebut sebagai srigala! Politik Yesus tidak tampil gembar-gembor di atas pentas percaturan media untuk mempromosikan “dagangan” manis yang sebentar akan terlupakan bila kampanye dan pemilu berakhir. Politik Yesus tidak pernah merasakan nyaman dengan kemapanan, dan menghalalkan segala cara untuk mengenyangkan perut sendiri.


Dalam keyakinan Yesus berdasarkan teks Yesaya 61 ini, politik seharusnya anti-kemapanan! Bagi Yesus, rahmat dan kesetiaan Allah yang dekat dengan kaum marginal adalah pokok politik-Nya. Shalom yang ada dalam pikiran Yesus adalah shalom yang terjungkir balik, yang disebut oleh Don Kraybill the upside-down kingdom, “Kerajaan yang Sungsang.”

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (2)

KERYGMA DALAM MANIFESTO NAZARET

Injil Lukas memberitakan kemesiasan Yesus mulai nampak di muka publik ketika Yesus mulai mengajar di sebuah sinagoga di Nazaret. Seorang chazzan menyerahkan lectionary untuk hari itu, dan teks yang dibaca adalah Yesaya 61. Bukan kebetulan bila yang dibaca adalah Kitab Nabi Yesaya bagian ketiga. Cobalah berpikir andaikata Anda berada di sinagoga itu! Anda melihat Yesus mengajar. Anda mendengarkan Yesus membacakan bagian ini. Saya yakin, hati Anda akan dikobarkan dengan semangat membara! Ketika telinga Anda menangkap suara Yesus, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya,” saya sangat yakin bahwa Anda pun secara spontan akan mengatakan, “Ya! Amin! Sekaranglah waktunya!” (Bdk. Luk. 4.22.)


Mengapa demikian? Orang kala itu mengharapkan datangnya pembebasan. Ketika mereka menghitung-hitung, ternyata jatuhnya masa “tujuh puluh kali tujuh masa” seperti yang dikatakan oleh nabi Daniel (Dan. 9.20-27) adalah pada zaman pada waktu Yesus ada. Maka tak heran, sejak pertengahan abad II S.M hingga pertengahan abad II S.M, tanah Palestina adalah wilayah yang paling bergolak. Mereka yakin, setelah masa 490 tahun yang diwarnai dengan ketertekanan dan penindasan bangsa asing terhadap Israel, merekahlah fajar era baru, yang dipimpin oleh Mesias, utusan dari Allah. Dan masa itu jatuh di sekitar zaman Yesus! Zaman itu adalah “Tahun Yobel Agung!”


Dapatkah Anda membayangkan ekspresi orang pada waktu itu ketika Yesus memperkatakan kerygma tentang Pribadi yang Diurapi Allah untuk: (1) menyampaikan kabar baik” kepada orang-orang sengsara, (2) memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan (3) memberitakan tahun rahmat Tuhan. Kabar baik, pembebasan, serta tahun rahmat Tuhan.


Harap Anda tidak cepat-cepat merohanikan ketiga istilah tersebut! Bagi orang Yahudi, “kabar baik” berarti munculnya tunas Daud, sang Mesias yang dijanjikan Allah, yang akan menegakkan pemerintahan Allah di antara kaum pilihan-Nya. Pembebasan (Ibr. deror) menggemakan berita Imamat 25 mengenai Yobel! Pembebasan yang dimaksudkan adalah kepulangan bersama-sama, yang disertai pembebasan dari ketimpangan ekonomis akibat penindasan. Pusaka tanah milik para leluhur yang telah dirampas oleh para penjajah dikembalikan. Keluarga yang tercerai-berai dikumpulkan kembali. Anggota keluarga yang menjadi budak di tanah asing dipulangkan ke tengah-tengah keluarga. Bagi mereka, adalah lebih baik tinggal bersama keluarga daripada tercerai berai. Penyatuan kembali keluarga merupakan tanda anugerah Yahweh. Ini semua adalah rahmat dari Yahweh, cinta kasih Allah perjanjian. Inilah shalom!


Tujuh ratus sebelum Yesus Kristus lahir, nabi Yesaya telah menyerukan tahun pembebasan, tahun rahmat Tuhan, tahun Yobel! Berita ini terus menggema sebagai sebuah kerygma eskatologis. Allah akan kembali ke tengah-tengah umat-Nya. Allah akan menebus kembali dan memulihkan kehidupan umat-Nya, mengumpulkan tulang-tulang Israel yang terserak, menyatukan keluarga yang tercerai-berai, membangkitkan kembali laskar-laskar-Nya dan mengutus Mesias sebagai wakil-Nya.


Dapatkah Anda menangkap visi ini? Dalam PL tidak pernah digemakan eskatologi ke-kiamat-an dunia. Eskatologi adalah kehadiran Allah kembali di tengah umat-Nya, dan Allah akan tinggal bersama-sama dengan umat. Jelas sekali, berita ini revolusioner! Betapa tidak! Bila Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya, maka tiada kuasa lain, selain Allah, yang menindas umat, ataupun menempatkan diri sebagai superior. Kerygma PL tidak kurang bernada politis! Politik Kerajaan Allah, yaitu politik yang mewartakan tatanan baru yang dipimpin oleh Allah, suatu tatanan yang dilambari oleh shalom.

Kerygma, Credenda, Agenda Yesus (1)

MENILAI ZAMAN

Marilah pertama-tama kita sadari bahwa politik tidak mungkin terpisah dari ekonomi. Kepentingan politik sering bertumpang tindih dengan kepentingan ekonomi. Di Amerika Serikat, dua partai besar Republic dan Democrat saling berebut untuk dapat menduduki kursi tertinggi di pemerintahan, dengan mengajukan calon terandalnya untuk menjadi presiden. Kebanyakan kaum Injili dan Kristen fundamentalis masuk dalam kubu Republic. Namun dengan musibah 9/11 dan terorisme yang melanda Amerika, pendulum itu berayun ke sisi lain, dan banyak orang mulai mengangkat suara menyatakan mosi tidak percaya pada pemerintahan George W. Bush. Siapa sangka, Bush sebagai juragan minyak ternyata telah memiliki sebuah sindikat dan kerja sama dengan jaringan Al Qaeda dan khususnya keluarga Osama bin Laden? Sang koboi dari Texas telah lama menjalin dengan sang musafir dari jazirah Arab untuk urusan minyak. Pada waktu 9/11 terjadi, semua penerbangan segera dihentikan; namun anehnya, satu-satunya pesawat yang boleh melakukan penerbangan adalah yang mengangkut keluarga Osama! Apa yang sebenarnya telah terjadi?


Bagaimana di negara kita? Tergulingnya pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pun tidak mungkin diceraikan dari kepentingan ekonomi. Yang bermain di balik layar adalah sebuah badan intelijen negara kapitalis yang sangat ternama! Dengan pola kerja yang licin dan halus, nabok nyilih tangan, maka akhirnya penguasa Orde Lama dapat tercukil dan digantikan dengan penguasa Orde Baru! Dengan bergulirnya pemerintahan, maka kepercayaan yang baru diberikan oleh negara-negara kapitalis Barat. Di masa Orde Baru ini, Indonesia nampak makmur. Indonesia memasuki era pembangunan. Negeri kita terkenal dengan sebutan negara yang dipercaya—untung berutang! Prestasi yang luar biasa! Predikat yang membanggakan dari luar negeri!, demikian orang berpikir dan itulah yang masuk dalam buku teks sekolah di era 1970-1980-an! Dari sejak IGGI, kemudian CGI, lalu IMF, negeri kita terus mendapatkan dana suntikan dari luar negeri.


Hal selanjutnya, politik juga tidak terpisah dari agama. Bahkan ada yang mengatakan, agama adalah kendaraan politik yang paling jitu! Edward Gibbon, sejarawan Abad Pencerahan yang menulis The Decline and Fall of the Roman Empire, menuliskan sindiran, bahwa agama itu sama salahnya di mata para filsuf, sama benarnya bagi khalayak umat, dan menguntungkan bagi pemerintah. Itulah sebabnya di Indonesia, pergolakan massa di suatu daerah dapat dengan mudah disulut bila menyangkut agama. Partai yang mengusung agama pun tetap memiliki rating atas di negeri kita sejak berdirinya negeri ini. (Ingat, partai Masyumi yang mendapat peringkat 2 dalam Pemilu 1955 setelah PNI dan sebelum PKI!) Demikian pun, setiap usaha pengumpulan dana yang menyertakan panji agama, akan segera mendapatkan simpati besar dari umat, dan telah menjadi rahasia umum, departemen negara yang paling kaya (dan paling korup) adalah Departemen Agama!


Bagaimana orang Kristen seharusnya bersikap? Kita perlu menilai zaman, serta melakukan otokritik terhadap kekristenan! Kita berada dalam ketegangan: kaum Injili yang kebanyakan konservatif dan cenderung kapitalistik, serta kaum liberasionis yang cenderung sosialis-Marxis. Perlu ditandaskan, tidak dapat kita generalisasi (Jawa: gebyah uyah!) sebagai dua kutub yang an sich mutlak demikian. Ada kaum Injili yang dipengaruhi oleh Marxisme, ada pula kaum liberasionis yang masih berbau-bau kapitalistik. Akan tetapi, sikap kita sebagai pengikut Yesus seharusnya jelas! Saya setuju perkataan Craig Blomberg, guru besar PB di Denver Seminary, bahwa keduanya tak perlu menjadi kutub yang berseberangan,


Evangelical can supply a crucial orthodoxy; liberationists a much needed orthopraxy. Together . . . they could transform the world in the name of Jesus, bringing to individuals, people, institutions, and cultures the faith which liberates, heals, eradicates poverty, and brings forgiveness of sins.


Dengan perkataan lain, politik yang sejati dapat dilaksanakan “dalam nama Yesus.” Nama Yesus, dari hasil penyelidikan saya, bukan semata-mata istilah yang dapat diklaim eksklusivitasnya sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Jangan salah paham, saya percaya itu! Tetapi bila kita beranggapan bahwa keempat Injil berbicara mengenai Yesus datang, disalib dan dibangkitkan agar setiap kita masuk surga, yaitu negeri di awan, kita keliru memahami Injil. Silakan baca baik-baik keempat Injil sekali lagi, atau berulang-ulang kembali. Secara sederhana alur pikir keempat saksi Kristus ini adalah: Kristus datang, maka ciptaan baru hadir (disahkan oleh kebangkitan Kristus pada hari pertama), dan kita mempunyai tugas untuk dilakukan.


Injil berbicara bagaimana kita hidup sebagai ciptaan baru, kini dan di sini, dan seperti apa kelak ketika ciptaan baru itu diwujudnyatakan di atas bumi! Injil adalah Injil Kristus yang membumi. Injil berbicara mengenai bagaimana kita hidup di dalam Kristus, oleh kuasa Roh Kudus, sebagai ciptaan baru. Injil berarti suatu undangan bagi kita untuk menjadi pelopor-pelopor pembaruan kosmos. Injil berbicara mengenai keberanian kita menghadapi penguasa-penguasa dan ilah-ilah zaman, menjungkirbalikkan tatanan yang lama, untuk digantikan dengan yang baru. Berarti Injil berbicara mengenai politik yang baru! Itulah politik Kerajaan Allah, dengan Yesus dari Nazaret sebagai Mesias!


Bagaimana Yesus memandang politik? Apakah Yesus berpolitik? Kita merenungkan satu bagian yang dikenal sebagai teks “politik” bagi Yesus. Seorang pakar PL Inggris, Christopher Wright menyebut bagian ini “Manifesto Nazaret.” Istilah “manifesto” kerap dipakai oleh kalangan marxis-komunis untuk mendeklarasikan ide-ide perjuangan mereka dengan terbuka. Oleh para ahli PB, termasuk yang Injili, bagian ini pun diyakini proklamasi ide perjuangan gerakan Yesus.


Ada tiga pokok kajian dari bagian ini, yaitu kerygma, credenda dan agenda Yesus dari Nazaret, kemudian kita akan menarik implikasi untuk hidup kita kini dan di sini. Kerygma berarti tindakan pewartaan dan inti dari pewartaan itu. Credenda berarti apa yang diyakini. Agenda berarti tugas dan vokasi (panggilan) hidup.