Tanggapan
Jadi, bagaimana menanggapi film ini? Saya mengajak pembaca untuk menelaah dengan cerdas dan santun, tak perlu berburuk sangka. Tidak perlu emosi apalagi menjatuhkan penghakiman untuk ke sekian kalinya bagi Nikos Kazantzakis dan Martin Scorsese sebagai sutradara film. Jadilah pembaca/ penonton yang cerdas. Untuk itu, mari kita menelaah “epistemologi”-nya. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menanyakan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan. Dengan begitu, menelaah film ini, kita perlu bertanya, dari mana Kazantzakis mendapatkan pemahamannya?
Pertama, Kazantzakis mengalami liku-liku kehidupan yang tidak mudah. Bagaimana pun juga, liku-liku hidup ini menentukan seseorang menuangkan buah-buah pemikirannya. Ia pernah gagal dalam berumah tangga. Hidupnya tidak kaya. Ia menghasilkan karya-karyanya dalam bahasa Yunani modern, dan pada waktu itu tidak banyak peminat buku berbahasa Yunani. Terjemahan ke bahasa-bahasa Eropa baru terbit di usianya yang sudah lanjut. Ia menderita leukimia. Oleh karena itu, ketika berhasil menerbitkan karya Last Temptation ini, ia mengatakan telah memenuhi kewajiban dari seseorang yang telah bergumul banyak, dan banyak mengalami kepahitan dalam hidup, seseorang yang juga memiliki banyak harapan.
Kedua, Kazantzakis terpesona dengan filsafat eksistensialis, dan sepanjang kehidupannya ia berkelana untuk mendapatkan makna hidup. Maka, menonton film ini, Anda harus memikirkan hal-hal eksistensial berikut ini:
· Pikirkan film ini sebagai sebuah peluang untuk mendengar berbagai suara yang berbeda-beda, bahkan yang saling berkonflik dalam diri Anda sendiri, dan menyelami kepercayaan, nilai, prioritas dan cita-cita.
· Pikirkan film ini sebagai sebuah kesempatan untuk merenungkan ulang pengalaman Anda mengenai rasa bersalah, kesepian, ketidakberdayaan, keragu-raguan dan ketakutan.
· Pikirkan film ini sebagai sebuah perjumpaan tertutup dengan pemahaman eksistensial Anda mengenai kejahatan dan pencobaan.
· Pikirkan film ini sebagai langkah untuk menghadapi perubahan dan bagaimana Anda berespons terhadap dunia.
· Pikirkan film ini sebagai cara untuk mendapatkan guru-guru yang dapat menjadi model atau sahabat-sahabat yang simpatik yang berperan dalam pertumbuhan spiritual Anda.
· Pikirkan film ini sebagai suatu kesempatan untuk berhubungan dengan dampak penderitaan dan pengurbanan atas pertumbuhan kerohanian Anda.
· Pikirkan film ini sebagai suatu perjalanan yang akan memberi Anda pemahaman yang segar tentang makna pergumulan, kasih dan tanggung jawab dalam pengalaman religius Anda.
Dalam pada itu, Anda pun harus mawas diri bahwa filsafat eksistensialisme mengantar kepada nihilisme dan keputusasaan. Kebanyakan filsuf dan seniman eksistensialis dalam masa kejayaanya justru menjadi tidak/kurang waras dan bunuh diri. Mengapa? Aspek antroposentris menjadi bahasa utamanya. Bagi mereka, kehidupan adalah perjuangan yang harus dihadapi seorang diri. Tidak ada pertolongan dari luar. Manusia adalah juruselamat bagi dirinya sendiri. Namun, ketika manusia semakin masuk ke dalam dirinya dan mencoba menyelami dirinya, dalam hatinya muncul kecemasan yang tiada tara (Angst), yang pada akhirnya mengantar dia kepada kesia-siaan hidup.
Ketiga, filosofi dualistik Yunani bermain besar di dalam novel dan film ini. Siapa Allah? Di mana Allah? Apa yang diperbuat-Nya? Allah adalah Bapa-nya Yesus. Dia di surga. Dia memberi Yesus misi perutusan. Tetapi Ia tidak memiliki kuasa apa-apa atas diri Yesus. Antara Allah dan Yesus tidak ada kesatuan. Allah itu Roh. Ia di surga. Allah banyak membisu terhadap Yesus. Ia berintervensi hanya melalui kata-kata yang dari surga. Sedangkan Yesus adalah materi. Ia adalah manusia biasa, yang terpisah dari Allah. Yesus harus mencari jati dirinya sendiri. Ia ingin menghayati kebersatuannya dengan Allah melalui tindak-tindak askese. Ia mengatakan banyak kata yang menunjukkan kebingungan, kecemasan dan ketakutan. Yesus sendiri “bingung” dengan grand design Allah atas alam semesta ciptaan Allah Bapanya.
Betapa berbeda dengan cara pandang dunia Kristen yang integral. Allah bertindak di dalam Kristus untuk memulihkan dunia. Allah tidak semata-mata berurusan dengan keselamatan manusia. Ia memiliki grand design untuk keselamatan tata ciptaan. Ia tidak sekadar memberi tiap manusia tugas dan misi, tetapi Ia bertindak di dalamnya, melalui Yesus Sang Mesias. Kalau pun Yesus “belajar” untuk mengenal kehendak Allah atas diri dan perutusan-Nya di dunia, tak pernah diceritakan Ia mengambil perilaku asketis. Setiap tindakan dan ucapan-Nya, pengajaran maupun mukjizat-Nya, merupakan penggenapan dari firman Allah yang telah tertulis di Perjanjian Lama.
Keempat, betapa pun film ini mampu mengantar kita kepada permenungan eksistensial, hendaklah kita selalu sadar bahwa tidak mungkin kita berhenti di situ. Kita membutuhkan Juruselamat di luar diri kita. Ada pribadi yang lebih besar, yang tidak hanya melihat dari kejauhan, yang hanya memberi misi dan tuntutan, namun Pribadi itu yang datang dan mengubah kita dari dalam. Di dalam Kristus, kita mendapatkan pembenaran kita, yaitu pengampunan dosa (2Kor. 5:21). Melalui kuasa Roh Kudus, kita dilahirkan kembali untuk suatu kehidupan baru (Yoh. 3:3, 5), sehingga hidup kita sekarang ini adalah sebuah cicipan pertama dari antisipasi ciptaan baru yang akan datang dalam kesempurnaannya kelak.
Kita tahu bahwa Allah telah bertindak melalui Kristus dan di dalam kuasa Roh Kudus untuk mewujudnyatakan suatu tata kehidupan baru, yang berpuncak pada datangnya langit dan bumi yang baru. Jika kita hidup di dalam pengharapan ini, maka kita dapat melangkahkan kaki dengan jelas, tanpa putus asa. Kita tidak sedang berjuang seorang diri! Kita memiliki Penolong yang Mahakuasa! Kita yakin bahwa Ia pasti berjaya!
Terpujilah Allah!